KEMPALAN : Suatu hari pada 1997 saya bertemu Tomi Pakasi salah satu aktivis 1978. Mantan pengurus Dewan Mahasiswa Universitas Surabaya yang pernah ditahan delapan bulan bersama sejumlah aktivis lain lantaran aksi-aksi menjelang Sidang Umum MPR 1978 yang hobi mengoleksi lukisan, menyarankan saya untuk menemui Pak Anas Rosjidi salah satu petinggi PT Semen Gresik yang sama-sama mantan aktivis.
Intinya siapa tahu ada peluang bikin pameran lukisan, mengingat Pak Anas yang alumnus ITS ini juga dikenal sebagai kolektor lukisan.
“Kalau ada yang punya hobi sama, akan klop jika bikin kegiatan seputar hobi itu,“ ujar Tomi. “Coba kamu datangi,” lanjut Tomi yang pengusaha konstruksi ini.
Pak Anas Rosjidi, pada waktu itu, sudah berada “di luar” Semen Gresik, yakni sebagai Direktur Utama PT Swadaya Graha salah satu anak perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi yang kantornya di Jalan Kartini, Gresik, tak jauh dari kantor PT Semen Gresik di Jalan Veteran.
Ditemani sahabat saya wartawan Toto Sonata, sekitar Mei 1997 kami datangi kantor Pak Anas.
O ya, Toto yang mantan redpel Mingguan Mahasiswa ini juga pernah ditahan selama enam bulan lantaran rentetan aksi 1978 bersama pemred-nya Agil H. Ali, dianggap ikut ngipasi.
Cekas aos, intinya Pak Anas yang asli Solo ini mendukung usulan yang kami kemukakan untuk bekerja-sama menghelat pameran lukisan yang kebetulan pada waktu itu Semen Gresik sedang menyiapkan rangkaian kegiatan dalam rangka memeriahkan HUT-ya.
“Insya Allah akan saya usulkan ke Panitia HUT Semen Gresik,” ujarnya.
Lantas dikontaknya Pak Bambang Subroto SR. selaku Ketua Umum Panitia HUT Semen Gresik.
Gayung pun bersambut.
Intinya panitia memfasiltasi lokasi pameran, mencetak katalog, juga kaos, serta piagam bagi peserta pameran, dan lain-lain lagi.
Pameran lukisan ini lantas dimasukkan ke dalam kegiatan peringatan HUT Semen Gresik. Untung masih nututi, padahal panitia sudah lama terbentuk dan agenda kegiatan pun sudah tersusun.
Kami pun lantas diberi dana awal oleh PT Swadaya Graha di luar sekian fasilitas yang diberikan Panitia HUT Semen Gresik, semisal untuk DP sewa sketsel dan lighting, uang bensin riwa-riwi Surabaya-Gresik, dan lain-lain.
Tentu saja ini kesempatan menggembirakan. Bayangkan, kami sudah tidak usah payah-payah mencari sponsor atau donatur. Tinggal kerja pelaksanaan. Harapan pun cerah, akan mendapat 15 prosen dari potongan 35 prosen lukisan yang terjual, dimana yang 20 prosen oleh Panitia HUT Semen Gresik disumbangkan untuk Program Orangtua Asuh di Jakarta.
Saat itu rata-rata seminggu sekali bersama Toto Sonata saya menemui Pak Bambang Subroto dan Pak Anas Rosjidi untuk konsolidasi persiapan pameran lukisan yang diikuti 50-an pelukis di Jawa Timur.
Namun siapa menyangka, terjadi paradoksal, situasi politik dan ekonomi mulai turbulensi dengan akumulasi yang memuncak pada 21 Mei 1998 dengan mundurnya Pak Harto.
Turbulensi itu mula-mula ditandai dengan merangkak naiknya kurs dollar AS, yang semula Rp 2.500 sampai menjelang dua minggu dibukanya pameran – kalau tidak salah – sudah di seputaran Rp 5.000.
Pak Anas waktu itu – maaf – menunjukkan kekuatiran lantaran situasi ekonomi yang mulai tidak kondusif.
Kuatir kepada siapa?
Ya kepada pelukis, kalau-kalau lukisan yang dipamerkan tidak ada yang membeli.
Setidaknya pikiran umum waktu itu: boro-boro untuk beli lukisan, untuk biaya rutin kehidupan sehari-hari saja sulitnya bukan main.
Namun saya tenang-tenang. Kenapa?
Karena ya itu tadi, semua biaya penyelengaraan ditanggung Panitia HUT Semen Gresik dan PT Swadaya Graha.
Bayangkan, dua institusi menanggung dana pemeran besar ini. Kalau pun lukisan tidak ada yang laku, ya tidak apa-apa. Toh saya tidak akan rugi. Demikian kurang lebih pikiran saya.
Perasaan pada waktu itu, selama tujuh tahun (1990-1997) menjadi penyelenggara pameran lukisan baru kali ini nasib baik berpihak kepada saya sejak awal kegiatan.
Biasanya selalu jungkir balik mencari dana “prencil-prencil” untuk modal bikin pameran disertai perasaan was-was kalau-kalau lukisan yang digelar tidak laku.
Kadang-kadang disertai beberapa kali menggadaikan perhiasan istri untuk memodali aktivitas itu.
Namun demikian dalam konteks pameran lukisan di Semen Gresik, saya optimistis lukisan akan terjual. Minimal 10 biji. Oleh sebab itu kami menyediakan label tanda ‘sold’ 20 lembar. Syukur kalau lukisan laku 20 biji.
Label yang kami maksud adalah karton putih ukuran lebih kurang 13 x 10 cm yang sisi bagian atas bertuliskan ‘Sold’ (terjual), sementara sebagian besar bidang kosong karton di bawah ‘Sold’ nantinya akan ditulisi nama pembeli lukisan. Dan karton ini akan ditempelkan di bawah lukisan yang terjual yang di-display di sketsel atau tripod.
Pikiran saya, ngapain bikin label banyak-banyak, toh selama ini kalau kami menyelenggarakan pameran lukisan rata-rata yang terjual sekitar 10 lukisan. Bahkan sering di bawah bilangan itu.
Tibalah pada saat yang ditunggu-tunggu, yakni upacara pembukaan yang diselenggarakan di lobi Gedung Utama Semen Gresik yang megah.
Upacara ini membuat saya kikuk. Di antaranya karena begitu formal. Mirip apel defile kontingen olahraga. Undangan berdiri, dikelompokkan sesuai profesi, jabatan, dan asal.
Ada kelompok peserta/pelukis, para petinggi Semen Gresik (setingkat kepala bagian ke atas), Panitia HUT Semen Gresik, juga Forum Studi Kebudayaan Indraprasta sebagai penyelenggara pameran dimana saya ketuanya, dan lain-lain.
Di sudut bagian timur lobi gedung ini bertengger grand piano lengkap dengan pianisnya yang siap mengisi acara pembukaan, dimana pembukaan diresmikan oleh Dirut PT Semen Gresik Pak Urip Timuryono.
Beberapa jam sebelum upacara, saya didekati Pak Bambang Subroto, diminta memberi sambutan sebelum sambutan Pak Urip.
Saya langsung “munyeng” — pusing, meski saya sadar ini adalah upaya Pak Bambang untuk nguwongke kami selaku pelaksana pameran.
Apalagi selama ini saya selalu berada di belakang layar, lha kok disuruh memberi sambutan di depan undangan yang necis-necis parlente.
Mengenakan baju basofian lengan panjang merah magenta yang bahannya saya beli di Thailand pada Maret 1997 saat mengadakan pameran lukisan keliling enam propinsi di Negeri Gajah Putih itu, saya berusaha tampil dengan saya pede-pede-kan.
Alhamdullilah sambutan singkat saya berjalan lancar.
“Apik pidato sampeyan. Lancar, masiyo koyok deklamasi (Bagus pidato anda. Lancar, meski seperti berdeklamasi),” ujar salah satu pelukis.
“Jangkrik, habis dijunjung terus dijatuhkan ya …,” begitu jawaban balik mengimbangi guyonan pelukis tadi. (Jelek-jelek waktu SD dan SMP saya sering menjuarai lomba deklamasi, mas bro …wkwkwk…).
Yang asyik setiap sore PT Semen Gresik menyiapkan dua buah bus yang diparkir di Jalan Taman Apsari dekat Monumen Gubernur Suryo di Jalan Pemuda, Surabaya, guna mengangkut pulang pergi para pelukis peserta pameran yang umumnya tinggal di Surabaya dan sekitarnya ke lokasi event.
Hari pertama tak ada lukisan yang sold. Hari kedua demikian juga. Hari ketiga idem.
Hari keempat saya ditelepon Pak Anas, menanyakan kabar apa sudah ada yang terjual.
Maka sesudah jam pulang kantor, Pak Anas langsung mendatangi kami di lokasi pameran dengan pakaian seragam kantornya, intinya memberi semangat kepada kami.
Demikian juga Pak Bambang Subroto, priyantun Solo ini pun selalu menunjukkan senyum optimismenya.
Malam harinya pada hari keempat itu, Pak Bambang Subroto dan Pak Anas muncul lagi dengan pakaian kasual, berganti dari pakaian seragam.
Lantas disusul banyak muncul tamu yang rata-rata para karyawan Semen Gresik. Tak lama kemudian di bawah sejumlah lukisan yang dipajang bermunculan label tanda ‘sold’ dengan tertulis nama pembeli. Rupanya Pak Anas dan Pak Bambang Subroto telah mengontak teman-temannya.
Ada juga di karton label yang cuma tertulis huruf NN (no name) yang artinya pembeli lukisan tak mau ditulis namanya. Mungkin takut disangka pamer. Maklum pembelinya adalah karyawan PT Semen Gresik. Rupanya saling tenggang rasa terjaga di lingkungan BUMN ini.
Sebetulnya kalau pembeli mencantumkan namanya – terutama di jajaran personel panitia – dimaksudkan untuk memancing karyawan Semen Gresik lainnya agar bersedia mengoleksi lukisan yang dipamerkan.
Analoginya, kalau lukisan makin banyak tertempel label ‘sold’ berarti event ini sukses.
Soal huruf NN tersebut, saya jadi ingat guyonan pelukis Anang Timoer salah satu peserta pameran ini. “NN itu singkatan dari ‘nanya-nanya’ …he-he-he “ ujarnya “Maksudnya masih belum pasti membeli … Baru tahap suka …” (Pak Anang iso ae…).
Hari kelima lukisan yang laku mulai bertambah lagi. Dan ini yang tidak disangka-sangka, ternyata karton label tanda ‘sold’ yang kami cetak 20 lembar itu habis. Padahal malam itu tamu-tamu dari kalangan PT Semen Gresik terus berdatangan.
Terus mereka memilih dan menunjuk beberapa lukisan yang disukai.
Maka salah satu kru bergerak cepat untuk meminjam salah satu tanda ‘sold’ yang sudah tertulis nama pembeli dan mencopotnya dari sketsel, lantas menutupnya dengan sobekan kertas putih. Lantas bergerak menuju kios foto kopi yang ada di seputar lokasi pameran.
Namun karena sudah pukul 21.00, banyak kios di seputar lokasi pameran yang pada tutup. Terus Mas Kru bergerak ke arah pusat kota.
Di dekat alun-alun tampak sebuah kios foto kopi yang sudah tutup, namun lampu di dalam terlihat menyala. Maka “digedornya” pintu kios itu.
Cerita Mas Kru, tak lama muncul seorang ibu muda. Lantas dikopinya karton tanda ‘sold’ itu secukupnya.
Tapi lagi-lagi siapa menyangka bahwa foto-kopian tanda ‘sold’ tersebut beberapa hari kemudian habis lagi lantaran tertempel di bawah banyak lukisan lengkap dengan nam-nama pembeli.
Mengapa bisa begitu ? Lantaran Pak Bambang Subroto, Pak Anas Rosjidi, Pak Bowo Wasito, Pak Bambang (maaf saya lupa nama lengkapnya…Mungkin Bambang Sulak … wah, maaf lupa … Apa Sulaksono, ya ?), setiap sore gencar berdiri di depan lift keluar di lobi gedung utama, mencegati dan merayu para petinggi dan karyawan Semen Gresik supaya mau melihat dan membeli lukisan yang dipamerkan.
Bahkan beberapa rekanan Semen Gresik tak lepas dari bujuk rayu Pak Anas dan Pak Bambang Subroto.
“Wis foto-kopien sak akeh-akehe ! (Sudah, foto kopi sebanyak-banyaknya !),” perintah saya kepada Mas Kru soal karton label ‘sold’ itu.
Dan, nyatanya, lukisan yang terjual pada event berjudul “Gelegar Akbar 50-an Pelukis Jawa Timur” yang berlangsung pada 8-19 September 1997 ini memang buanyaakk.
Selama lebih kurang 15 tahun saya menjadi penyelenggara pameran lukisan, pada event inilah terbanyak terjual lukisan, yakni 76 biji.
(Dari jumlah itu, yang empat lukisan dikoleksi oleh sejumlah pembeli di luar karyawan/rekanan PT Semen Gresik. Mereka tertarik melihat pameran ini setelah membaca siaran pers di koran. Salah satu pembeli itu yang saya ingat adalah perempuan muda cantik, istri warga negara Jepang yang pengusaha udang).
Namun rekor jumlah perolehan uang terbanyak selama jadi penyelengara, diraih pada saat Pameran dan Bursa Lukisan yang digagas alm. Bambang Sujiyono yang berlangsung di Balai Pemuda pada tahun 2004, di mana saya ditunjuk sebagai ketua panitia.
Sesudah pameran itu bermunculan beberapa kolektor lukisan di kalangan pimpinan/karyawan Semen Gresik. Bahkan ada yang jadi penyelenggara pameran lukisan.
Setahun kemudian digelar lagi pameran besar pelukis-pelukis Jawa Timur oleh Semen Gresik yang saya tidak terlibat. Baru pada tahun 2000 digelar pameran besar tingkat nasional dengan kurator alm. Maman Noor dimana saya sebagai ketua pelaksana.
Catatan tercecer, dari hasil pameran di Gresik pada tahun 1997 itu, saya pergunakan untuk merenovasi “tipis-tipis” rumah mungil saya.
Sementara Toto Sonata, “Saya serahkan istri dan untuk beli spring bed…” ujarnya, seperti biasa dibarengi senyum khasnya. (Amang Mawardi).