Ada jagat tanpa rupa yang dihuni suku gaib. Itulah dunia maya yang disesaki nitizen. Mereka tak kasatmata tapi kuasanya amat nyata. Tidak menggenggam pedang namun mampu melukai hati teramat dalam. Tak perlu meja sidang atau palu hakim, suku gaib mengadili di layar kecil.
Ta’im alias Miftah menjadi contoh nyata akan kekuatan suku gaib “merujak” entertainer religi itu sampai lembut. Reputasinya ludes seketika akibat perilakunya dinilai biadab terhadap penjajah minuman pada acara agama.
Sebuah drama viral. Ta’im, sang dai berjas tampil necis di atas mimbar. Dia ndagel sambil mengudar ayat-ayat sebagai pewarna, tapi satu kata salah arah menyindir seorang penjual es teh. Melihat itu suku gaib murka. Gelombang kemarahan di jagat maya seperti tsunami menggulung reputasi Ta’im.
Apakah ini keadilan atau sekadar sirkus digital? Penghakiman datang lebih cepat melebihi kilat. Tak perlu prosedur hukum, cukup klik serta komentar saja. Dalam sekejap kemasyhuran Ta’im ludes. Di masa lalu menghina bangsawan adalah dosa besar namun sekarang, bahkan pengasong minuman punya perlindungan lebih dari sekadar undang-undang, itulah kekuatan suku gaib.
Setelah video ceramahnya viral, publik tak tinggal diam. Kritik mengalir deras, mulai dari tokoh agama hingga Partai Gerindra, partai pendukung Presiden Prabowo. Pukulan bertubi-tubi ini memuncak dengan munculnya petisi daring di Change.org bertajuk “Copot Gus Miftah dari Jabatan Utusan Khusus Presiden” dalam waktu tiga hari sukses mengumpulkan 254.000 tanda tangan!!
Akibat dibombardir suku gaib pada akhirnya Ta’im menyerah. Ta’im memilih mundur dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Drama itu menyisahkan gemuruh kritik di pondok sunyi. Ia berdalih, ini semua demi cinta kepada Presiden Prabowo. Tapi siapa yang tidak meraba di balik panggung? Kepercayaan publik pada Prabowo sedang memuncak. Daripada setitik Miftah merusak susu sebelanga lebih baik di-“delete”. Artinya, pernyataan cinta pada presiden bukanlah alasan murni. Suku gaiblah hakimnya yang menjatuhkan hukuman!!
Sungguh, suku gaib maha sakti. Dewan Pers punya angka statistik, terdapat 60.000 media massa di Indonesia. Para pemuka masyarakat selama ini dihantui oleh adanya “trial by press”, penghakiman oleh media. Namun data itu tidak berarti apa-apa jika dibandingkan 221,56 juta pengguna internet atau 79,5% dari populasi! Mereka bisa menggilas siapa saja yang lalai pada adab melalui “trial by nitizen’”.
Dengan kekuatan seperti itu suku gaib ini bisa menggilas siapa saja yang dianggap biadab karena berani melanggar adab. Ta’im atau yang lebih dikenal dengan nama panggung Gus Miftah sepertinya alpa akan fakta ini ketika dia dengan entengnya melontarkan penghinaan terhadap wong cilik dimana Prabowo pernah secara terus terang menyatakan menghormati pedagang kaki lima.
Dari kisah ini, Ta’im menjadi dongeng pengingat bahwa di jagat maya, adab lebih tajam dari pedang. Satu cela, satu hinaan, bisa menghancurkan martabat. Pemimpin dan “opinion leader” patut berhati-hati. Layar kecil lebih bertenaga dari ruang sidang mana pun.
Jaga lidah jaga nalar. Sebab suku gaib tak pernah tidur. Mereka terus mengamati, mengadili, dan di atas segalanya mengingatkan bahwa kuasa zaman digital merupakan kuasa yang kekal.
Suku gaib, nitizen, penghuni jagat maya, arena tanpa pintu keluar. Sekali khilaf, suku gaib akan memburu tanpa kenal maaf.
Rokimdakas
Wartawan & Penulis
11 Desember 2024