Gus Miftah, seorang dai dan tokoh publik yang dikenal luas, akhirnya mengundurkan diri dari salah satu jabatan pentingnya sebagai utusan khusus Presiden.
Langkah ini diambil setelah tindakannya terhadap seorang penjual es menuai kritik tajam dari masyarakat dan menjadi bahan perbincangan di media sosial.
Peristiwa ini menggambarkan tekanan besar terhadap tokoh agama dalam era digital, tetapi juga efek sebab akibat bagaimana masyarakat kerap menafsirkan peran agama secara parsial dan terkesan dangkal akibat dari metode ajaran para tokoh agama itu sendiri
Agama, sebagai salah satu fondasi peradaban manusia, telah lama menjadi sarana bagi individu untuk mencari makna hidup, kedamaian, dan harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Namun, dalam perjalanannya, agama tak jarang mengalami distorsi oleh para pemujanya sendiri, sehingga kehilangan esensinya sebagai pemandu moral dan intelektual.
Dalam sejarah, manusia dikenal sebagai makhluk berpikir, salah satu jenis kera besar yang berkembang melalui kecerdasan alami.
Kemampuan ini membawa manusia pada berbagai lompatan besar peradaban, mulai dari inovasi teknologi hingga pencapaian sosial yang mengesankan. Namun, bagi sebagian orang, pertumbuhan intelektual ini justru terhenti di bawah bayang-bayang dogma agama.
Mereka lebih memilih berpegang pada keyakinan yang diwariskan, tanpa bertanya atau merenungkan relevansinya dengan kehidupan modern.
Pemahaman agama sering kali berubah menjadi ritual kosong, di mana energi besar digunakan untuk praktik simbolis tanpa esensi nyata.
Dalam masyarakat tertentu, pemuja agama menginvestasikan waktu dan sumber daya demi ziarah ke tempat yang dianggap suci, dengan keyakinan bahwa tindakan tersebut dapat menjamin kebahagiaan abadi.
Sementara itu, tugas besar untuk membangun peradaban diabaikan. Paradoks ini memperlihatkan bagaimana agama, yang seharusnya menjadi pendorong kehidupan, justru berubah menjadi pelarian dari realitas.
Ironisnya, di tengah laju perubahan zaman, ilmu pengetahuan yang diperjuangkan oleh ilmuwan kerap dianggap ancaman bagi dogma agama.
Mereka yang beriman pada pengetahuan dicap sesat, sementara pemuja agama bersikeras menanti surga tanpa kontribusi berarti pada kehidupan di dunia.
Padahal, sejarah mencatat masa-masa emas ketika agama dan ilmu pengetahuan berjalan beriringan, seperti di era keemasan peradaban Islam.
Pada masa itu, ulama adalah ilmuwan, dan agama mendorong eksplorasi intelektual. Namun, kehendak politik yang memisahkan agama dari ilmu pengetahuan akhirnya membunuh harmoni tersebut.
Kini, agama sering kali dikelola oleh individu tanpa pemahaman mendalam, menjadikannya alat propaganda atau sekadar ritual kosong.
Para pemuja, bukannya membangkitkan kebesaran agama, justru secara perlahan membunuhnya dengan pola pikir yang malas, fanatisme, dan ketidakmauan untuk mempertanyakan.
Esensi agama bukanlah untuk menghentikan pertanyaan, melainkan untuk memandu manusia mencapai kehidupan yang bermakna, baik di dunia maupun setelahnya.
Ketika pemuja hanya sibuk menyembah tanpa berpikir, agama kehilangan perannya sebagai pendorong kemajuan. Ini bukan sekadar persoalan keyakinan, melainkan tragedi besar dalam sejarah kemanusiaan. ()
Oleh : Bambang Eko Mei