KEMPALAN: Hari ini Pilkada serentak. Untuk saya yang warga Surabaya, memilih salah satu calon Gubernur Jawa Timur dan wakilnya: Luluk Nur Hamidah – Lukmanul Hakim, Khofifah Indar Parawansa – Emil Dardak, Tri Risma Harini – Gus Hans.
Ini menarik, baru kali ini cagub-nya semuanya wanita.
Sedangkan untuk Calon Walikota-Wawali cuma ada pasangan tunggal : Eri Cahyadi – Armuji. Pasangan ini akan melawan kotak kosong.
Ini menarik, baru kali ini di kota Surabaya pilkot-nya disandingkan dengan kotak kosong.
Seperti biasa, di era digital manakala jelang pilkada, bersliweran “anekdot” atau meme-meme yang lucu.
Kemarin, di salah satu WAG, seorang teman mosting foto amplop terbuka (semacam serangan fajar) yang di dalamnya terdapat uang cuma seribu rupiah. Di bawah foto itu ditulisi: Nanti yang sembilan puluh sembilan ribu rupiah diberikan sesudah nyoblos, ya.
Atau muncul kalimat begini : Sebelum ke TPS jangan lupa sarapan. Meski peristiwa ini disebut pesta demokrasi, tetapi tak ada makan- minum seperti pesta pada umumnya. Jadi — jangan lupa breakfast, ya.
Dalam pesta demokrasi 14 Februari lalu, yaitu yang memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR- DPD-DPRD Provinsi-DPRD Kabupaten/Kota, saya kalau ingat timbul rasa kecewa, sedikit mangkel — karena ada sesuatu yang ngganjel di hati.
Setelah lima surat suara yang di dalamnya masing-masing ada sosok-sosok yang saya pilih dengan tanda bolong yang berarti sudah saya coblos, saya keluar dari “bilik suara” di ruangan Balai RT salah satu TPS di RW tempat saya tinggal.
Lantas saya keluar dari bilik suara itu, menuju teras Balai RT untuk nyelupkan ke tinta salah satu jari terkecil saya.
Terus lima surat suara yang sudah kembali saya lipat, diambil oleh seorang petugas berpostur gagah dalam posisi berdiri, berpakaian batik. Lantas petugas tadi “sepertinya” merapikan lima surat suara itu, supaya lipatan yang kurang sempurna menjadi lebih rapi. Untuk selanjutnya (akan) saya masukkan masing-masing ke lima kotak suara.
Tetapi yang aneh, khusus surat suara untuk pilpres saja yang dibuka (dengan cepat), dan dibeber dengan kedua tangannya.
Dari situasi itu terbit rasa seperti saya kena gendam. Naluri ada, tetapi tak ada tindakan lanjutan. Maksud saya, tak ada pencegahan dari saya untuk misalnya ngomong, “Lho, pak. Ngapain dibeber?! “.
Bagaimana kalau petugas tadi tahu pilihan saya, terus dia berusaha untuk mentidak-sahkan, kan saya yang rugi secara politis.
Maksudnya?
Saat itu, saya tidak melihat petugas tadi memakai cincin atau tidak. Kalau misalnya memakai? Jika petugas tadi tahu pilihan saya, sedangkan pilihan saya tidak sesuai dengan pilihannya (atau pilihan bos-nya, misalnya) kan berabe.
Asumsinya, bagaimana cincin akik (seandainya) yang dipakai petugas tadi terdapat ujung runcing logam, yang lantas dicobloskan ke foto capres-cawapres lainnya, apa gak zonk pilihan saya : Hangus tak berfungsi. Kertas suara dianggap rusak, nir-suara. Tidak sah !
Gitu, bos…
(Amang Mawardi).