Laku 45, Diinformasikan Cuma 15

banner 120x600
banner 468x60

KEMPALAN : Kendati sudah sukses secara finansial, pelukis Bangun Asmoro tidak pernah berubah secara attitude. Bicaranya sopan, tawadu, dan jika ketemu saya selalu berbahasa Jawa krama inggil.

Mula-mula saya menggunakan bahasa Jawa ngoko, dan ayah dua orang anak serta kakek 2 cucu –dari 1 istri ini– lagi-lagi tetap menggunakan krama inggil.

banner 325x300

Tapi akhirnya saya tersadarkan, kalau lama-lama percakapan berlangsung seperti ini, lho lho lho lho apa gak melanggengkan feodalisme. Gak bahaya tah?

Akhirnya saya ubah dengan saya menggunakan Bahasa Indonesia, tapi –eladalah– Mas Bangun tetap menggunakan krama inggil. Ya sudah, saya jarkan, saya biarkan. Meski pada akhirnya saya katut sama-sama berkrama-inggil.

Ternyata dari “titik ini” percakapan berjalan lebih gayeng.

        __________

Minggu sore kemarin saya menyempatkan ke PSLI (Pasar Seni Lukis Indonesia) ke-14 di Jatim Expo, setelah 10 hari terakhir saya dihajar flu mata dan penyakit lama asam lambung (meski sudah diberi lanzoprasole). Sekalian janjian ketemu dengan adik saya: Mushadi.

Saat baru memasuki gerbang gedung serba guna yang maha luas ini, tahu-tahu sudah menjejeri saya Pak Sujitno salah satu sosok penting di PSLI. Lantas beliau mengulurkan tabloid PSLI ke-14 yang cukup tebal.

Setelah ngobrol sana-sini diiringi senyum-senyum ketawa-ketawa sambil berdiri, saya mohon maaf untuk melanjutkan tamasya indah menyusuri lorong demi lorong, memasuki booth yang satu ke booth lainnya.

Tibalah saya memasuki dua booth milik pelukis Bangun Asmoro. Alhamdulillah, dinding panel kedua booth ini banyak yang kosong.

Artinya beberapa lukisan yang semula digantung di dinding panel, banyak yang lepas: terjual !

Di situ saya tak menjumpai pelukis yang tinggal di Sidoarjo ini. “Kemana Mas, Pak Bangun?” tanya saya kepada seorang pemuda yang mungkin asisten Bangun Asmoro yang sedang berdiri di situ.

“Maaf, Pak. Coba dicari di pujasera,” katanya santun seraya tangan kanannya menunjuk arah utara.

Saya lantas melanjutkan klinong-klinong, kemudian bertemu dengan Pak Anis (Direktur PSLI) dan pelukis: Bagas Karunia Putra, Buggy, Harun, Wahyu Nugroho, Desemba Sagita, Arief Wong, Yunus Jubair, Yoyok, Paulina Soesri Handayani, Muit Arsa, dan Widodo Basuki yang pelukis, pematung, penggurit serta pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa ‘Jayabaya’.

O ya, saya juga ketemu dengan musisi Arul Lamandau yang makai kaos oblong hitam, lengan kaosnya kutung. Nyentrik juga sosok ini, pikir saya. Arul lagi duduk santai di depan booth Buggy.

Kepada mereka saya mencoba membagikan diri, sebentar-sebentar. Terpisah-pisah. Ada juga yang sekaligus bersamaan, bergerombol.

Namun, khusus kepada 2-3 orang di antara mereka, saya ngobrol agak lama. Wawancara ceritanya. Mumpung di sini, dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Satu jam kemudian saya kembali ke booth nomor 107 dan 108. Nah, barulah ketemu dengan sosok yang baru saja melewati usia 60 tahun.

Selalu pelukis yang menggunakan pisau palet sebagai “senjata”-nya itu, manakala berperan-serta dalam PSLI, menyewa dua booth untuk memajang dan memasarkan karya-karyanya.

Dari percakapan sore yang mendung dan AC sejuk dari hall Jatim Expo, pertanyaan saya dijawab Bangun Asmoro bahwa dia sudah berpartisipasi di PSLI sejak dibuka pertama kali di Balai Pemuda.

Dari 14 kali PSLI diadakan, satu kali dia absen. Kenapa absen? “Karena gak punya karya,” katanya, yang lantas menambahkan, “kolektor maupun art dealer sudah ngintipi saya di studio. Begitu lukisan jadi beberapa, langsung dibeli. Bahkan ada yang diekspor ke luar negeri.”

               _______

Ini ada cerita menarik, disampaikan Bangun Asmoro pada hari terakhir PSLI lebih kurang 2 tahun sebelum Covid-19.

Saat itu saya tanya: “Laku berapa, Mas?”.

Bangun, tidak langsung menjawab. Hanya senyum-senyum.

Lantas, dia bilang: ‘Laku 45 lukisan. Tapi saya bilang ke teman-teman, laku 15. Nggak enak saya. Sungkan.”

Saat ini 8 lukisannya sold, dari harga 5 juta hingga 15 juta rupiah. Seperti biasanya yang laku obyek pasar di desa, dan bunga. Ada juga panen.

“Alhamdulillah, Pak Amang. Disyukuri mawon, ekonomi lagi sulit rupanya…”

Kendati dua putrinya belum mengikuti jejaknya, Bangun tak masalah. Katanya, setiap anak bebas menentukan pilihan karier.

Yang sulung –Yudha– alumnus jurusan Seni Rupa Unesa. Sedangkan yang bungsu –Niayu– juga alumnus Seni Rupa — Unipa. Keduanya mengajar. Jadi guru.

“Saya berharap kepada Pak Anis, hendaknya tahun depan PSLI ada lagi. Karena event ini bukan saja ajang marketing para pelukis se-Indonesia, juga reuni dan silaturahmi para seniman.

O ya, hampir lupa. Di event ini, saya juga ketemu para sahabat saya yang aktivis PSLI : Must Genthong, Budi Haryoso, dan Syarif Wadjabae. (Amang Mawardi).

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *