Di ruang media sosial pikiran liar gentayangan menebar kebencian. Kebencian adalah benih yang tidak hanya merusak diri sendiri tetapi juga mempercepat kehancuran kolektif sebuah bangsa.
Dalam konteks Indonesia, kita sering kali melihat fenomena di mana pemimpin muda yang terpilih justru mendapat cibiran dan prasangka buruk hanya karena usia mereka yang dianggap “terlalu belia” untuk memikul tanggung jawab besar.
Bukankah bangsa ini sering berbicara tentang perlunya regenerasi kepemimpinan? Mengapa kemudian ketika jawaban itu hadir, kita justru terjebak dalam prasangka negatif?
Kebencian sering kali lahir dari rasa tidak puas atau bahkan iri hati. Sebagian orang merasa lebih layak memimpin karena menganggap dirinya lebih pintar, lebih berpengalaman dan lebih memahami permasalahan bangsa.
Tetapi, apakah perasaan ini benar-benar didasarkan pada kompetensi atau hanya keinginan untuk mendapat pengakuan? Orang-orang yang merawat kebencian sering kali gagal memberikan solusi nyata karena mereka tidak memiliki kepercayaan diri atau keberanian untuk memperjuangkan gagasan mereka di depan publik.
Kita perlu mengingat, regenerasi kepemimpinan adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Terutama ketika struktur kepemimpinan mulai mengalami stagnasi. Kita sering mendengar kutipan terkenal dari Sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Sukarno, “Berilah aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Itu bukan sekadar slogan, tetapi sebuah ajakan untuk memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk berkontribusi lebih bagi bangsa. Ironisnya, ketika pemimpin muda muncul, ia dituduh sebagai “produk keluarga”. Seolah-olah keberhasilannya semata-mata karena latar belakang keluarga, bukan karena kemampuan dan dedikasi pribadi.
Jika ada keluarga yang dengan tulus mengabdikan anak-anaknya untuk kepentingan republik, apa salahnya? Bukankah kemuliaan seseorang diukur dari seberapa banyak ia bisa memberikan manfaat bagi orang lain?
Kehadiran pemimpin muda yang siap bekerja demi kemajuan bangsa bukanlah sesuatu yang patut dicurigai melainkan patut didukung. Kebencian dan fitnah yang dilontarkan hanya akan menambah beban mental bagi mereka yang sebenarnya ingin membawa perubahan positif.
Lebih buruk lagi, merawat kebencian hanya akan merusak kesehatan mental pelakunya sendiri, yang bisa mempercepat kematiannya. Sebab, ketika rasa benci dilontarkan, struktur syaraf beserta organ tubuhnya lainnya mengalami kontraksi yang menjadikan rawan memicu penyakit.
Di era demokrasi ini, kita sering kali mendengar tentang kebebasan berekspresi. Namun, kita perlu mengingat bahwa kebebasan bukanlah sesuatu yang absolut. Ada batasan di mana kebebasan kita berakhir ketika keselamatan bangsa dan negara dipertaruhkan.
Mempertahankan prasangka buruk dan kebencian atas nama kebebasan justru dapat merusak fondasi persatuan yang kita bangun selama ini. Pada akhirnya, kebencian merupakan racun bagi jiwa bangsa.
Sebagai masyarakat, kita harus belajar untuk membuka pikiran, menerima perubahan, dan mendukung regenerasi yang sehat demi kemajuan bersama. Dengan demikian, kita tidak hanya menjaga kesehatan mental dan spiritual tetapi juga akan memperpanjang umur, baik diri sendiri maupun bangsa yang kita cintai.
Rokimdakas
Wartawan & Penulis
21 Oktober 2024