Oleh: Dahlan Iskan
JAKARTA-KEMPALAN : Presiden baru. Gaya baru. Pulang dari pelantikan sebagai Presiden ke-8 Indonesia, Prabowo Subianto tidak naik Mercy Limousine RI-1 bikinan Jerman.
Kemarin siang Anda melihat sendiri: Prabowo naik mobil bikinan Bandung. Buatan dalam negeri. Made in Pindad, salah satu industri pertahanan dalam negeri.
Nama mobilnya pun Anda sudah tahu: Maung Garuda. Warna putih. Mirip panser dikombinasi dengan Rubicon atau Hi-Lux.
Maka Prabowo langsung beda. Mungkin ini simbol nasionalisme yang kuat. Juga simbol corak militer. Bukan corak oligarki.
Dari segi harga belum tentu Maung Garuda lebih murah dari Mercy Limousine. Tapi kita lagi bicara simbolis –bukan harga.
Kalau Maung Garuda jadi kendaraan dinas presiden sehari-hari, maka Prabowo memang sengaja ingin beda.
Rakyat kelihatan bangga dengan mobil yang kekar, maskulin, dan perkasa itu.
Saya tidak tahu apakah ketika dinaiki juga seenak saat dipandang. Bagaimana suspensinya. Apakah cukup empuk –terutama bagi orang usia 73 tahun.
Jangan-jangan Maung Garuda akan segera jadi mobil nasional yang laku keras.
Ingin punya mobil seperti yang dipakai presiden tentu wajar. Mungkin orang akan pilih Toyota Hi-Lux yang dimodifikasi. Atau pilih Rubicon Gladiator yang dipermak. Dibuat mirip Maung Garuda.
Tapi Pindad bisa saja membuka kesempatan test drive untuk Maung Garuda.
Para pemilik Rubicon bisa mencoba. Membanding-bandingkan. Enak mana. Lalu, kalau kurang-lebih saja tentu pilih Maung Garuda: bisa serasa jadi Presiden Indonesia.
Tentu Maung Garuda yang dipakai Presiden Prabowo punya spesifikasi yang khusus: anti peluru. Interiornya woody. Panjangnya 5,05 meter. Sekitar 40 cm lebih panjang dari Hi-Lux. Lebarnya sama: 2,06 meter. Dengan tinggi 1,87 meter.
Tentu Anda juga bisa memesan Maung Garuda dengan interior yang sama. Juga pakai kulkas di dalamnya. Dengan pengaturan yang serba elektronik. Dengan tambahan kamera di banyak sudutnya.
Bobot Maung Garuda ini hampir 3 ton –kurang lima kilogram. Yang saya kurang percaya adalah kecepatannya: maksimum hanya 100 km/jam.
Saya baca berulang-ulang informasi soal kecepatan itu. Rasanya, bagi saya, kurang menarik. Kurang cepat.
Presiden Prabowo telah melangkah dengan simbol. Di langkah pertama pula. Simbol nasionalisme. Simbol produksi dalam negeri. Tapi di masa lalu banyak simbol yang sebatas simbol. Dalam praktek kalah dengan kepentingan.
Kita punya presiden baru. Pelantikannya berjalan lancar. Mulus.
Dalam perjalanan pertamanya ke istana dielu-elukan di bundaran HI. Prabowo muncul lewat lubang di sun roof Maung Garuda untuk melambaikan tangannya.
Yang terpenting dan ditunggu masyarakat adalah nama-nama menterinya dan berapa jumlahnya. Apakah ada di antara yang dipanggil dan dikumpulkan selama dua hari ternyata tidak masuk pengumuman.
Di masa Presiden Jokowi itu terjadi. Seorang Maruarar Sirait sudah dapat undangan ke istana. Untuk dilantik jadi menteri. Sudah pakai baju putih seperti calon menteri lainnya.
Ujungnya Anda sudah tahu: di detik terakhir ia batal dilantik. Tekanan begitu kuat agar Jokowi tidak melantiknya.
Tekan-menekan begitu kuat di detik-detik terakhir. Apakah Prabowo juga bisa ditekan? (Izzat)
Tinggalkan Balasan