Oleh: Sultoni Fikri (Dosen di Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan Peneliti di Nusantara Center for Social Research)

KEMPALAN – Pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) memunculkan pertanyaan tentang motif dan strategi di baliknya. Salah satu gagasan terbaru yang diperkenalkan untuk memperlancar transisi ini adalah konsep “twin cities,” di mana Jakarta tetap menjalankan fungsi sebagai ibu kota de jure, sementara IKN mengambil peran sebagai ibu kota de facto.

Meskipun tampak inovatif, ide ini bisa dibaca dengan kacamata filsafat politik Niccolò Machiavelli, yang dalam The Prince menekankan pentingnya pragmatisme dan manipulasi narasi untuk mempertahankan kekuasaan, artinya seorang penguasa harus mampu memanipulasi persepsi publik dan mengendalikan narasi yang berkembang di tengah masyarakat. Dalam hal ini, “twin cities” bisa dipahami sebagai alat politik yang dirancang untuk menciptakan citra stabilitas dan kesuksesan, meskipun di balik layar, realitas yang terjadi adalah ketidakmatangan infrastruktur dan perencanaan IKN. Narasi ini adalah bentuk dari apa yang Machiavelli sebut sebagai seni politik yang pragmatis—di mana kebenaran dan keadilan sering kali dikorbankan demi tujuan yang lebih besar, yaitu mempertahankan kekuasaan dan meminimalkan kerusakan reputasi.

Pemerintah, dengan memperkenalkan konsep “twin cities,” seakan-akan menciptakan solusi yang elegan dan cerdas, tetapi pada kenyataannya mungkin hanya mengalihkan perhatian dari masalah substansial terkait kesiapan IKN. Dalam terminologi Machiavelli, ini adalah contoh klasik dari bagaimana seorang penguasa harus selalu terlihat kompeten dan tegas, bahkan ketika situasi sebenarnya jauh dari harapan.

Narasi terkait “twin cities” berpotensi menjadi cara bagi pemerintah untuk menghindari tanggung jawab atas keterlambatan atau ketidaksiapan IKN. Ketika penguasa menghadapi tekanan besar, Machiavelli menyarankan agar mereka menciptakan narasi baru yang dapat mengalihkan perhatian dari masalah utama. Atas dasar itu, narasi “twin cities” mungkin digunakan untuk meredam kritik terhadap lambatnya proses pemindahan ibu kota dengan menekankan bahwa Jakarta dan IKN dapat berbagi beban tanggung jawab sebagai pusat pemerintahan. Namun, solusi ini tidak benar-benar menyelesaikan akar permasalahan, melainkan hanya menunda kritik publik. Narasi “twin cities” bisa dilihat sebagai upaya menjaga stabilitas politik dan administrasi pemerintahan selama transisi ke IKN.

Bagi Machiavelli, menjaga stabilitas kekuasaan adalah prioritas utama, bahkan jika itu berarti melanggar norma hukum atau moral. Meskipun tidak ada dasar hukum yang kuat untuk mendukung konsep ini, hal tersebut mungkin saja dipertahankan sebagai kompromi politik untuk menghindari instabilitas selama proses pemindahan ibu kota.

Di balik konsep yang tampak pragmatis ini, kita harus merenungkan apakah “twin cities” adalah solusi nyata atau hanya strategi politik untuk menutupi kegagalan perencanaan. Kritik terhadap konsep ini mengarah pada pertanyaan yang lebih mendalam: apakah narasi yang disampaikan kepada publik benar-benar demi kebaikan rakyat, ataukah hanya upaya untuk memperpanjang masa kekuasaan penguasa tanpa menyelesaikan permasalahan mendasar?

Dalam politik, seperti yang diajarkan oleh Machiavelli, penguasa yang cerdas akan selalu mencari cara untuk menjaga kekuasaan dan stabilitas, meskipun itu berarti menggunakan manipulasi atau kompromi yang melanggar aturan. Berdasarkan ajaran tersebut, IKN dan Jakarta sebagai “twin cities,” kita melihat refleksi dari ajaran Machiavelli tentang bagaimana strategi politik yang tampak elegan bisa jadi hanya menjadi alat untuk menghindari akuntabilitas dan mempertahankan citra positif pemerintah di tengah tantangan besar.*