Oleh: Dhimam Abror Djuraid*
SURABAYA-KEMPALAN : Seorang turis Amerika membual kepada seorang pria dari Uni Soviet. ‘’Demokrasi di Amerika sangat hebat. Saya bisa setiap saat datang ke Gedung Putih dan berteriak : gantung Reagan’’. Pria dari Soviet membalas: ‘’Apanya yang hebat? Saya setiap saat bisa juga datang ke Kremlin dan berteriak: gantung Reagan’’.
Anda mungkin masih ingat humor itu ada di buku ‘’Mati Ketawa ala Rusia’’ yang menjadi best seller di Indonesia pada 1990-an. Orang Amerika itu membual bahwa demokrasi di negaranya sangat ramah sehingga orang tidak takut memprotes presidennya. Si orang Amerika itu punya persepsi—tepatnya stereotype—bahwa di negara komunis seperti Uni Soviet seorang presiden selalu berwajah sangar dan menakutkan.
Stereotyping ini masih eksis sampai sekarang. Wajah pemimpin Korea Utara Jim Jog-un terlihat selalu datar dan misterius meskipun tersenyum. Almarhum Fidel Castro dari Kuba digambarkan sebagai sosok militer yang gahar, lengkap dengan seragam militer, senjata di pinggang, dan muka brewokan. Itulah gambaran umum mengenai seorang diktator.
Itu diktator kuno di masa lalu. Sekarang wajah diktator sudah berubah banyak. Malah ada diktator yang polos, lugu, dan datang dari kalangan rakyat miskin. Ada juga diktator yang murah senyum dan selalu manggut-manggut, sehingga dijuluki ‘’Sang Jenderal yang Tersenyum’’.
Kediktatoran yang sangar itu coba didekonstruksi oleh jurnalis dan pengarang Mikal Hem. Dalam bukunya ‘’How To be a Dictator’’ (2022), Hem mengolok-olok para diktator dan menyamakan mereka dengan profesi lain seperti sales barang-barang elektronik.
Buku Mati Ketawa ala Rusia menjadi legend karena sangat lucu dalam mengolok-olok para diktator yang kejam. Buku Mikal Hem ini buku yang serius, tapi dibuat lucu sebagaimana buku ‘’how to’’ atau buku-buku pengembangan kepribadian yang selalu laris manis.
Hem menjadikan profesi diktator sebagai profesi yang bisa dipelajari lewat kursus singkat di akhir pekan, atau dari pelatihan melalui zoom oleh pelatih profesional. Profesi diktator bisa dipelajari melalui langkah step by step sampai mencapai posisi tertinggi sebagai diktator.
Dalam satire politik kocak Mikal Hem menguraikan kiat-kiat sukses untuk menjadi diktator, dari mulai cara mencurangi pemilu, memperkaya diri sendiri dan keluarga, hingga membangun citra pribadi untuk melanggengkan kekuasaan.
Kekuasaan yang besar sering kali membuat pemimpin lupa diri. Hilangnya kendali diri mengakibatkan perilaku otoriter dan sewenang-wenang, yang pada akhirnya menjadikan dirinya seorang diktator. Pemimpin negara yang awalnya dipilih secara demokratis pun dapat mengarah pada gaya kepemimpinan otorier ketika memperluas kekuasaannya dan mempersempit kebebasan serta hak warganya.
Para pemimpin seperti Kim Jong Un (Korea Utara), Moammar Khadafi (Libya), Idi Amin (Uganda), Robert Mugabe (Zimbabwe), dan Nursultan Nazarbayev (Kazakhstan) adalah nama-nama yang disebut menggunakan gaya diktator dalam kepemimpinannya. Mereka tak segan menekuk lawan-lawan politiknya dan menciptakan sistem hukum yang ada demi melanggengkan kekuasannya. Sekalipun menerapkan demokrasi, penerapannya hanya semu. Bahkan, oposisi mampu dikendalikan dan dikerdilkan.
Mikal Hem meledek para diktator dengan gaya satire politik yang tajam tapi lucu. Bab pertama di bukunya berjudul ”Keuntungan Jadi Diktator”, seolah menjadi diktator sama dengan menjadi sales real estate.
Salah satu benefit diktator adalah awetnya kekuasaan. Cara mengawetkan kekuasaan bukan dengan balsem atau mumi atau direndam di air, melainkan dengan mengakali undang-undang supaya kekuasaannya bisa diperpanjang lebih dari periode yang sudah ditulis dalam konstitusi.
Salah satu resep menjadi diktator adalah meminta bantuan gratis dari Amerika, baik bantuan uang maupun peralatan. Password yang manjur untu membuka pundi-pundi dari Amerika adalah ‘’komunisme’’. Ketika perang dingin sangat marak pada 1960-an, Amerika sangat loman mengucurkan bantuannya kepada pemimpin militer yang menjual proposal untuk menumpas komunisme.
Jenderl Soeharto dari Indonesia masuk dalam kategori ini. Jenderal Augusto Picochet di Chile juga masuk dalam kategori ini. Mereka menjadi diktator selama puluhan tahun atas restu dan dukungan Amerika, dan cukup dengan menggunakan password komunisme.
Zaman sudah berubah. Diktator semacam Pinochet dan Soeharto sudah tidak laku lagi. Tiap zaman ada orangnya, dan tiap orang ada zamannya. Pembunuhan melalui operasi intelijen dan militer dengan bantuan CIA sudah tidak musim lagi. Tapi, tidak berarti jalan menuju kediktatoran sudah tertutup. Jalan itu masih terbuka, tapi password berubah. Bukan komunisme tapi ‘’demokrasi dan pemilu’’.
Pemilu demokratis adalah token ajaib yang bisa membawa seseorang menjadi diktator. Memang ironis, menjadi diktator melalui pemilu. Tapi, itulah kenyataannya. Banyak diktator yang melaksanakan pemilu prosedural atau pseudo-pemilu sebagai jalan melanggengkan kekuasaan.
Pemilu dilaksanakan sesuai prosedur, tetapi semua perangkat sudah diatur dan dana besar sudah disiapkan untuk membeli suara, vote buying. Rakyat dibuai dengan program bantuan sosial yang menggerojok seperti gentong babi. Bantuknya bisa bansos dan berbagai jenis bantuan lainnya. ”Kalau kau melakukannya dengan benar dan mendapatkan hasil yang kau inginkan tanpa banyak kehebohan, maka pemilu akan menambah legitimasimu,” tulis Hem.
Hem memberikan tips and tricks cara mencurangi pemilu. Salah satu caranya adalah ‘’ballot stuffing’’ atau mencurangi kotak suara. Hal ini bisa mudah dilakukan kalau pelaksana pemilu seperti KPU (Komisi Pemilihan Umum) di Indonesia sudah dipilih dari orang-orang yang gampang diatur.
Contohnya Putin di Rusia. Dalam pilpres 2012, di dapil Grozny, dia mendulang 1.482 suara. Padahal, dapil itu hanya terdiri atas 1.389 pemilih. Artinya, Putin menang 107 persen di sana. Sound familiar? Kayaknyan pernah dengar? Betul. Pilpres di Indonesia 2024 bukan hanya 107 persen tapi ada yang sampai 1.500 persen. Lebih ajaib lagi, ada pemilih hantu, sudah meninggal tapi masih terdaftar sebagai pemilih. Cerita horor ini hanya terjadi di negeri Konoha.
Pemilu jujur saja tidak bikin pesaing puas, apalagi yang curang. Amerika seharusnya menjadi contoh demokrasi yang baik seperti yang selama ini digembar-gemborkan. Tapi, lihatlah pilpres 2019 antara Joe Biden vs Donald Trump. Hasil pemilu tidak diakui oleh Trump yang merasa dicurangi oleh KPU Amerika. Trump menggerakkan ribuan pendukungnya menyerbu gedung DPR sambil membawa senjata api lengkap.
Tips selanjutnya untuk menjadi diktator adalah jadilah diktator budiman, dermawan, baik hati, dan jangan pelit. Para politisi punya ungkapan ‘’tali rafia tali sepatu, sesama mafia saling membantu’’. Atau, untuk koruptor kelas teri ada ungkapan ‘’tali karet tali sepatu. Sesama copet harus bersatu’’.
Bagian ini oleh Mikal Hem diberi judul ”Berbagilah (dengan Orang-Orang Dekatmu)”. Orang dekat ini bisa keluarga, rekan politik, atau mitra koalisi, atau pimpinan partai politik. Hubungan saling menguntungkan akan terwujud. Kekuasaan diktator bisa langgeng, dan para kerabat bisa hidup sejahtera.
Buku ini menarik bagi mereka yang bercita-cita menjadi diktator. Mungkin Jokowi pernah baca buku ini selain komik Sinchan, siapa tahu? (Izzat)