KEMPALAN : Dari sekian “pos penempatan reporter” seperti Polda Jatim, Polwiltabes, Pemprov Jawa Timur, Pemkot Surabaya, Pengadilan Negeri dan sekian pos lagi, Pengadilan Agama (PA) yang paling banyak menghasilkan kejadian-kejadian menarik untuk diolah menjadi berita dan disuguhkan kepada khalayak melalui media cetak.

Di sini berlaku semacam “dalil”, kalau ingin melihat kesedihan sejati datanglah ke Pengadilan Agama.

Namun, kalau ingin melihat insan manusia senang –boleh jadi– datanglah ke Kantor Urusan Agama (KUA). Di situ ada pernikahan sepasang insan.

KUA sekarang menyediakan quade (kursi pelaminan) dilengkapi kursi undangan cukup untuk 20 orang. Setidaknya di KUA dekat rumah saya yang jaraknya benar-benar sepelemparan batu, bukan dalam arti kiasan.

Saat gadis bungsu kami menikah, dilakukan di KUA yang jaraknya dari rumah sekitar 50 meter. Kami tidak bikin undangan, mengingat saat itu situasi masih pandemi Covid-19, cukup dengan membagikan ‘bancakan’ nasi kotak ke tetangga se-RT sesudah pernikahan berlangsung.

Ada yang bikin plong jika nikahan dilakukan di KUA, ngirit Rp. 600.000. Karena, kalau mengundang penghulu ke rumah, biayanya sebesar itu. Namun, jika mempelai hadir di KUA: gratis. Saya rasa itu berlaku untuk seluruh Indonesia.

Tentu, ‘berkat’ yang kami bagikan ke tetangga, juga untuk KUA yakni sebanyak 10 kotak. Selain untuk Pak Kepala KUA, juga untuk para karyawan.

Nah, kenapa kesedihan sejati sering terjadi di Pengadilan Agama? Bagaimana tidak sedih jika sepasang insan yang sekian tahun melayari biduk rumah tangga harus bercerai “begitu saja”. Apalagi kalau sudah dibuntuti 1-2 anak. Atau 2-3 anak. Lebih-lebih jika lebih dari itu.

Mungkin dalam pikiran yang akan berpisah, “Memang sedih, tapi mau bagaimana lagi. Berpisah lebih baik, daripada diteruskan…”

Saat saya sering meliput di PA Surabaya, lokasinya masih di kawasan Jalan Gadung, dekat RSAL Dr. Ramelan. Belum di Ketintang Madya seperti sekarang.

Sepertinya yang di Jalan Gadung bangunan rumah biasa yang dirombak menjadi kantor. Sehingga seringkali kondisi di situ terlihat uyel-uyelan.

Namun, beberapa kali saat ada pengadilan, saya menemui hal-hal unik di balik kesedihan.

  1. Misalnya, begini: sepasang suami-istri muda usia sekira 5 tahun di atas saya (waktu itu) terlibat debat sengit di salah satu ruang di kantor PA tersebut. Yang suami ganteng, yang istri cantik dengan rambut tergerai panjang se-pundak. Mereka punya anak satu. Keduanya sama-sama ngotot ingin bercerai.

Tersebab apa, saya lupa. Kejadiannya sekitar 38 tahun lalu. Penanda yang saya ingat, anak sulung saya waktu itu usia 4 tahun. Sekarang 42 tahun dengan satu istri dan dua anak.

Akhirnya pak hakim memutuskan, “baiklah sidang akan dilanjut pada tanggal (saya lupa persisnya).”

Dugaan saya sidang lanjutan akan memutus cerai. Mengingat betapa seru dan ngototnya mereka untuk bercerai.

Dua minggu kemudian saya ‘walking-walking’ di toko Nam (toko paling top saat itu), lha kok ketemu mas dan mbak yang ngotot mau cerai tersebut. Didekatnya ada anak perempuan seusia 5 tahun. Si ‘mbak’ terlihat nunjuk-nunjuk baju anak kecil sambil senyum-senyum, sesekali wajahnya menghadap ke wajah si lelaki.

Apa saya ‘mbatin’ saat itu? Ya lah ! : ‘Lho…ini kan yang ngotot mau cerai itu…’.

Namun, jika ditarik ke masa sekarang, dengan kondisi mereka masih semuda dulu tapi saya setua sekarang, mungkin saya akan membatin begini: ‘Yo ngono le & nduk. Ojo pisah yo, mesakke anakmu…’ (Ya begitu mas & mbak. Jangan cerai ya, kasihan anakmu…’).

  1. Misalnya, begini: Sepasang suami istri, hadir di PA di situ. Keduanya –maaf– berasal dari luar Jawa. Sang istri cantik mengingatkan saya pada Lady Rocker Nicky Astria. (Serius, mirip penyanyi rock cewek asal Bandung itu. Hanya dia sedikit lebih gemuk. Sedikit ya). Sang suami usianya kelihatan lebih tua, sekira 10 tahun di atas sang istri. Ganteng.

Mereka wirausaha, punya toko di kawasan Rungkut. Sang istri ngotot minta cerai, suami bertahan keras tak mau menceraikan.

Kasus utamanya apa, saya lupa. Cuma ada kata-kata dari sang istri yang saya ingat betul. “Masak Pak Hakim, saya mau dijual ke teman dia…” sambil menangis sesenggukan.

Suatu hari saya sedang berada di Jalan Rungkut Industri Kidul. Ini kawasan pertokoan khas pinggiran kota (dulu). Di situasi dan kondisi sekarang, terdapat toko kacamata langganan saya ‘Sinar Optik’. Di deretan toko kacamata itu, di sebuah toko lumayan besar (dulu) yang menjual alat-alat rumah tangga seperti panci, rantang, bakul, sapu ijuk dan lain-lain — saya lihat laki-laki yang tak mau menceraikan istrinya itu.

Dia berdiri di depan bufet kaca aluminium. Sedangkan “Nicky Astria” berada di belakang bufet aluminium berkaca-tembus pandang, berposisi sebagai penjual/pemilik toko.

Mereka sedang bicara dalam suasana santai. Saya agak pangling dengan lelaki tersebut, karena berkopiah. Apa mereka sudah cerai atau tidak, saya tidak tahu. Karena situasinya sulit ditebak. Beda dengan yang ketemu di toko Nam.

  1. Misalnya, begini: saya kaget. Saya melihat Bu Ma**un guru SD saya dan suaminya sedang duduk berdua di ruang tunggu, berbaur dengan pengunjung lain. Usia mereka saya taksir sekitar 55 tahun.

Bu Ma**un dikenal sebagai guru yang tegas. Beliau juga pelatih baris-berbaris di sekolah saya (dulu): SD Kalianyar II di sebelah kanan THR Mall Jalan Kusuma Bangsa.

Setelah terdengar suara lewat mikrofon, mereka berdua masuk ke ruang sidang paling pojok di ujung barat.

Lebih dari sekali saya menjumpai Bu Ma**un dan suaminya berada di PA ini. Selalu saya berusaha menyembunyikan diri agar tak diketahui beliau.

Pada suatu hari — mungkin pada sidang ketiga– mereka keluar dari ruang sidang paling barat. Lha kok Bu Ma**un tidak langsung ke tempat parkir motor, tapi berjalan ke arah saya yang sedang duduk. Lantas: “Amang, ibu jangan dimuat, ya! “. Deg! Saya kaget, dan gelagapan. ” Eng.. Eng gaaak, Bu… “.

Saya tidak mengira kalau Bu Ma**un masih mengenali saya, padahal sudah sekitar 20 tahun tak bertemu. Entah, beliau tahu dari mana kalau saya wartawan.

Saya hanya beri tiga contoh konkrit. Masih banyak kejadian unik nan sedih di PA itu. Misalnya lagi, saya ketemu teman sekelas di STM jurusan Kimia Industri yang dulu saya taksir. Sebut saja: RK. Dia saat itu mengantar kakaknya Mbak E yang mau cerai dengan Hr. Saya kenal Hr, kakak perempuannya –Dw– teman sekelas di SD dimana Dw usianya dua tahun di atas saya.

Yang saya heran Mbak E yang dari keluarga terhormat (ayahnya seorang perwira) kok bisa enggak cocok dengan Hr yang juga berasal dari keluarga terhormat (rumah Hr dulu di Jalan Kusuma Bangsa salah satu kawasan elite di Surabaya). Apa yang salah?

Sekian puluh tahun kemudian, saya bertemu dengan RK di reuni sekolah. Ternyata Mbak E dan Hr sudah pisah.

Ada lagi yang perlu saya ceritakan. Adalah H wartawan Surabaya Post, saat itu juga sedang sidang cerai di PA dengan istrinya K yang wartawati RRI Surabaya. H ganteng; K yang putri wartawan terkenal di salah satu kota di ujung barat Jatim: cantik.

Tentu saja berlandaskan “kode etik pertemanan” saya tidak akan menulis kasus perceraiannya. Sama dengan Bu Ma**un tadi, saya juga tak memuat kasusnya.

Akhirnya H dan K jadi cerai atau tidak, saya tidak mengikuti.

Cuma ada cerita trenyuh yang disampaikan Hardjono (Al Fatihah) salah satu koresponden Pos Kota di Surabaya bahwa H sudah hidup sendiri (saat itu, sekitar 38 tahun lalu), tinggal bersama seorang anaknya. Kabarnya mereka belum cerai; pisah rumah.

Sebelum berangkat ke kantor, H mengaduk susu formula dalam beberapa botol, kemudian menuju balai penitipan anak dekat rumah, meninggalkan anaknya dan beberapa botol susu tersebut. Sore hari, sepulang kantor, anaknya dijemput.

Kantor PA di Surabaya saya sebut sebagai ‘pos kejadian berita’ potensial, disamping Pengadilan Negeri dan UGD RS Dr Soetomo.

Banyak “drama” di PA Surabaya yang jika diolah dengan baik, akan menjadi berita menarik. Lebih-lebih jika jurnalis yang mengolah berita berlatar-belakang cerpenis. (Amang Mawardi).