KEMPALAN: Kamis 10 Oktober 2024, sesaat dari bangun tidur sekira pukul 13.00, saya lihat pesan masuk ke nomor WA saya dari Pak Ali Salim jurnalis senior yang mantan anggota DPRD Jatim dua periode.
Isi pesan: Saya telepon Pak Amang karena pingin ngobrol sambil makan/ngopi bersama Pak Toto, di wilayah sekitar rumah anda nanti sekitar pukul 12.30-an. Kabarin ya bisa tidaknya di WA ini saja. Sebentar lagi saya mau jemput Pak Toto.
(Sejak Selasa dini hari kepala saya diserang vertigo. Jadi, Kamis pagi itu sekira pukul 10.00 badan saya rebahkan lagi untuk meredam vertigo setelah minum Histigo satu tablet, akhirnya bikin merem mata saya).
Ternyata setelah saya scroll ke atas ada notifikasi telepon dari beliau.
Saya jawab dengan pesan begini: Oke, Pak. Siap.
Saya jawab begitu karena vertigo saya sudah berkurang dibanding Selasa sebelumnya.
Tapi tidak ada jawaban.
Lantas saya balik telepon, juga tak ada jawaban.
Saya lantas berpikir: mungkin masih on the way.
Saat mau ambil wudhu, pengasuh cucu saya bilang: “Pak, ada tamu. Sekarang lagi parkir mobil.”
Saya pun bergerak ke teras. Saya lihat Pak Toto Sonata sedang memandu mobil Pak Ali Salim untuk parkir di depan rumah saya.
Saya longokkan kepala di pintu pagar yang kecil. “Tok, langsung masuk ya, aku tak dhuhuran disikā¦ “.
Lantas saya masuk ke rumah lagi.
Kami pun lantas ngobrol di ruang tamu. Salah satu yang diobrolkan, Pak Ali Salim memuji tulisan saya di Facebook enam hari lalu, judulnya : Tertunda Bayar Angsuran, Tersebab Perpanjangan SIM.
Setelah ngobrol seputar 10 menit, kami pun siap-siap beranjak ke tempat ngopi. Atas saran saya, lantas mobil Pak Ali Salim menuju arah utara, kemudian belok kanan ke Jalan Rungkut Madya.
Sekitar 1 kilometer dari rumah saya, sampailah di Fami** M**t tempat nongkrong dari generasi ABG hingga angkatan ortu macam kami yang sudah di atas 70 tahun ini : Pak Ali Salim 75, Pak Toto 72, dan saya 71.
Terakhir kami ngobras (ngobrol bareng sahabat) sekitar dua tahun lalu di sebuah tempat ngopi di kawasan Prapen, Surabaya.
Sekitar satu setengah jam kami ngobrolin dunia jurnalistik dan (antara lain) kesejahteraan wartawan di masa lansia.
Dari diskusi siang itu, saya coba simpulkan (dalam hati), empat golongan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan wartawan, yaitu: A, B, C, dan D.
Golongan A siapa? Dahlan Iskan paling top, kata Pak Ali Salim.
Di Surabaya cuma satu, ya Pak Dahlan itu — kata Pak Ali Salim lebih lanjut.
Selebihnya ada banyak nama sahabat para jurnalis yang disebut yang masuk golongan di bawah A.
Sebelum ngobras diakhiri, saya teringat cerita tentang “burung yang dilempar ke bawah” yang disampaikan Pak Yamin Akhmad wartawan Harian Suara Indonesia, di depan gerbang masuk kantor Pemkot Surabaya, Jalan Jimerto, seputar 30 tahun lalu.
Saat itu ada saya yang koresponden Harian Pos Kota di Surabaya dan 2-3 wartawan lagi yang saya lupa. Kami berdiskusi sambil berdiri.
“Menurut (Pak) Ali Salim,” Pak Yamin mengatakan, “dalam mengarungi hidup, kita diingatkan oleh ‘filosofi burung’. Jika burung dilempar ke bawah, kebanyakan memang menuju arah itu. Tetapi sebelum menyentuh tanah, ia akan bergerak cepat mengepak sayap, dan dengan sigap terbang ke atas, makin tinggi dan tinggi.
Dari ‘filosofi burung yang dilempar ke bawah’ yang diceritakan Pak Ali Salim yang lantas di- foreward Pak Yamin, kita bisa memetik pelajaran bahwa saat kita jatuh, berusahalah untuk bangkit dan naik ke atas dengan segala upayamu, perjuanganmu.
Sebagaimana sering dialami banyak orang, beberapa kali (sering) terpuruk, atau tersebab dipurukkan orang — begitulah isi kehidupan.
Mendengar review cerita lama tersebut, Pak Ali Salim tersenyum kecil. Lantas dia ngomong begini: “Ini ada lagi cerita tentang burung. Tapi konteksnya lain.”
Sekian tahun lalu dalam perjalanan ke Amerika Serikat, Pak Ali Salim transit di Dubai, Uni Emirat Arab.
Karena waktu transit lumayan panjang, Pak Ali Salim dibawa ke suatu kawasan gurun.
Dengan kendaraan yang khusus didesain melaju di gurun berpasir, menuju suatu titik lokasi. Ternyata diperlihatkan “pertunjukan” di langit yang biru bersih, tetiba terlihat seekor burung yang makin lama makin tampak sosoknya, dan akhirnya menclok di salah satu lengan seorang lelaki.
Lantas kepada lelaki tadi Pak Ali Salim bertanya: “Ini kan burung liar dan ganas. Kenapa kok bisa hinggap di tangan Anda?”
Jawab pawang burung elang tadi: “Ini yang bikin burung kembali,” seraya menunjukkan sesuatu di salah satu telapak tangannya. Mungkin sebangsa daging.
“Plot twist”-nya tak terduga. Lantas Pak Ali Salim mengatakan bahwa dalam kehidupan, daging di tangan lelaki tadi diibaratkan nilai-nilai kebaikan. Setiap yang berbuat baik, akan dikembalikan kepada yang melakukan.
‘Dan seringkali yang kembali itu biasanya nilainya lebih besar’, saya pun membatin.
(Amang Mawardi).
Tinggalkan Balasan