SURABAYA-KEMPALAN: Lama nggak jumpa konco lawas hingga ada undangan Reuni AWS 83 di Desa Dinoyo, Mojokerto. Ketika bertemu mereka, serasa jarum waktu berputar terbalik ke tahun 80an, dimana kami sama-sama sinau jurnalistik. Ada yang masih aktif jadi buruh pabrik kata-kata, ada yang asyik ngemong putu, ada yang jadi lurah, macam-macam kehidupan teman-teman.

Di antara konco lawas, ada Abror (Dr. Dhimam Abror Djuraid). Mumpung ketemu saya kulakan kata² pada Ketua Dewan Pakar PWI Pusat (2024-2029) tersebut.

Kim : Bror, aku pingin takon. Pasca reformasi 1998, keberadaan media massa sudah sedemikian rupa perkembangannya. Pembacaan apa yang menarik diketengahkan?

Abror : Ngene lho Kim, di Indonesia sekarang ada 6.000 media online. Tidak sampai 2000 yang sudah diverifikasi Dewan Pers, dinyatakan memenuhi standarisasi. Artinya, begitu banyak media yang belum dikelola secara layak, tanpa pola manajemen yang benar, kompetensi wartawannya belum baik serta kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik dipertanyakan. Fenomena ini akibat dari mudahnya persyaratan membuat media. Sekarang ini lebih sulit mendirikan usaha tempe daripada media.

Kim : Pemerintah nggak turun tangan?

Abror : Sebenarnya kondisi yang ada merupakan dampak jawaban atas dikabulkannya tuntutan masyarakat pers akan kebebasan pers sewaktu reformasi, yakni penghapusan SIUPP serta menuntut supaya pers tidak dikontrol secara ketat.
Kemudian masyarakat pers membentuk Dewan Pers. Pemerintah melalui Menkoinfo pun tidak campur tangan masalah pers, cukup ditangani Dewan Pers.

Kim : Bagaimana Dewan Pers menangani perkembangan media yang tidak terkendali ini?

Abror : Menurut saya bisa meniru skema Departemen Pendidikan. Jika ada sekolah yang tidak memenuhi syarat karena jumlah muridnya sedikit maka diarahkan untuk merger dengan sekolah lain. Wali muridnya tentu senang karena anaknya bisa sekolah di tempat yang lebih baik.

Mengatasi media yang tidak memenuhi persyaratan menejemen dan kompetensi bisa menduplikasi pola tersebut. Baik kelembagaan maupun perusahaan media melakukan merger dengan lembaga maupun perusahaan media yang dikelola dengan benar. Dibutuhkan kemauan politik untuk melaksanakan skema tersebut.

Kim : Bagi pihak yang diminta menerima pelimpahan tentu tidak begitu saja menerima karena ada standarisasi?

Abror : Secara kelembagaan Dewan Pers memiliki konstituen yang kompeten, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, Serikat Media Siber Indonesia dan Asosiasi Jurnalis Televisi Indonesia, untuk itu organisasi lainnya perlu merger dengan lembaga tersebut.

Kim : Bagaimana dengan standarisasi kompetensi?

Abror : Selama ini kan sudah ada klasifikasi kompetensi. Tingkatannya dari muda lalu madya kemudian utama. Tahapan peningkatan kompetensi merunut pada klasifikasi tersebut.

Kim : Saya melihat kondisinya merepotkan …
Abror : Perlu tau aja. Dalam mempersiapkan Pilkada 2024 KPU Sidoarjo mengeluh pada saya karena terdapat 120 media online sedangkan yang memiliki bukti sudah diverifikasi Dewan Pers hanya 15 media. Jika yang diperhatikan hanya yang 15 lalu yang lain melakukan demo?

Masyarakat pers sekarang ibarat menghadapi kotak pandora. Situasi yang dihadapi sangat mengkhawatirkan. (Rokimdakas)

Editor: Izzat