KEMPALAN : Beberapa hari lalu masuk video ke nomor WA saya. Kover video tersebut berwarna kuning muda, polos. Di bawah kover tertulis : Erros Djarot. Pengirimnya sahabat saya : Moh Anis — Direktur Pasar Seni Lukis Indonesia.

Sebagaimana banyak khalayak tahu, PSLI adalah event tahunan yang rerata diikuti 200-an pelukis se-Tanah Air, menghadirkan lebih kurang 2.000 lukisan.

Ini pasti sesuatu yang menarik, demikian pikiran saya sesaat setelah menerima video berdurasi 3 menit 14 detik tersebut, mengingat apa yang dikirim Pak Anis ke nomor WA saya sebelum-sebelum ini, senantiasa memikat dan memancing saya untuk mengembangkannya.

Karena di bawah kover tersebut tertulis ‘Erros Djarot’, saya menduga ada sesuatu yang berhubungan dengan ayah dari Banyu Biru dan Sekar Putih ini.

Ketika layar video saya sentuh, muncullah logo ‘Sanggar Merah Putih’ dengan ciri cungkup Gedung Merah Putih, kompleks Balai Pemuda, Surabaya — posisinya di bagian atas bidang, persis di tengah.

Lantas disusul running tex menurun ke bawah, sebagaimana bentuk tipografi ini :

        Menyelenggarakan
                 PSLI XIV

       8-17 November 2024

               Jatim Expo
   Jl. A. Yani 99, Surabaya

Saat teks-teks tersebut tersusun ke bawah, terdengar dentingan dawai gitar akustik, dimana setelah ‘poster digital berjalan’ tersebut habis, gambar pun berubah adegan : tampak sosok yang disebut di bawah poster tadi –Erros Djarot, budayawan– bercelana jins biru dongker, berkaos polo warna hijau lumut, mendendangkan lagu yang intronya mengiringi poster tadi.

Ya, Erros Djarot sedang membawakan lagu berjudul ‘Pelangi’ yang diciptakannya pada tahun 1977 — ini salah satu dari sekian lagu yang terhimpun dalam album ‘Badai Pasti Berlalu’ yang lantas dipopulerkan penyanyi dan basis andal : Chrisye.

Saat menikmati sajian ini, saya terfokus pada dua hal :

Pertama, Sosok Eros Djarot, kendati usia adik kandung aktor dan sutradara besar Slamet Rahardjo Djarot ini bisa dibilang relatif tidak muda, yakni 74 tahun (22 Juli 1950), tapi sebagaimana terlihat pada layar video, bagai masih 60 tahun. Tubuhnya kokoh.Wajahnya bersih. Kumisnya masih tebal.

Kedua, Gitar yang dimainkan Erros bentuknya tidak seperti gitar akustik pada umumnya — mirip bentuk gitar di negeri-negeri Timur Tengah.

Dari ‘dua fokus’ ini, saya tidak saja menangkap isyarat kesederhanaan pantulan outfit yang dihadirkan Eros Djarot, namun juga eksotika alat musik gitar itu, yang lantas tersublimasi menjadi : itulah bagian dari estetika Erros.

Saat mendendangkan lirik-lirik :

Bagaikan langit berpelangi
Terlukis wajah dalam mimpi

Tertegun kudibuai dibuai dalam kenangan dan senyuman

Yang tak ‘kan terlupakan

Erros tampak santai, tidak ngotot, tapi menyiratkan kesungguhan. Dia dentingkan lagu ini pada nada dasar C.

Nada dan lirik pun terus mengalun. Saat sampai pada refrain, Erros menunjukkan tekanan, namun tetap dalam kestabilan yang santai.

Pada saat lirik berbunyi Kau dengar laguku dalam simponi, Erros lantas menyambung dengan kata-kata (seolah) berdialog dengan penonton, masih dalam irama lagu itu yang digitarkannya :

“Teman-teman, jangan lupa pasar seni lukis Indonesia ke empat belas, tanggal 8 sampai 17 November di Jatim Expo,” pesan Erros simpatik. “Jangan lupa ya, catat. Yang mencatat akan saya beri lagu…”

Lantas Erros mengalunkan nada dan syair :

Baju pengantin telah kutanggalkan dini hari

Jenuh awan yang berakhir di ujung hujan

Jangan kau tinggalkan bila kekasih menutup pintu

Desah angin pagi menambah hangatku berkawan alam

Kini telah kujumpa air sejuk pelepas haus dahaga…

Lantas Erros (seolah) berdialog lagi dengan audiens digitalnya:
“Jangan lupa ya tanggal 8 sampai 17 November…”

Kemudian video ditutup dengan teks estetik cukup besar: PSLI XIV Wow… — dalam konfigurasi bentuk huruf dan komposisi warna yang begitu indah.

Tentang lagu terakhir yang dibawakan Erros Djarot itu, baru kali ini saya mendengarnya. Kesan saya : Aneh. Surealistis. Ada mencuat
unsur spiritualis hipnotik. Antara irama dan lirik saling berkelindan menyimpan misteri.

Seperti biasa, ketika ketidaktahuan menggantung di awang, maka google-lah yang jadi rujukan, meski bisa saja google menginformasikan tidak akurat.

Ternyata judul lagu kedua ini adalah : ‘Gaun Pengantin’. Dan masuk dalam album ‘Badai Pasti Berlalu’.


Dua hari lalu, saya teleponan dengan Achmad Zainuri salah satu sutradara hebat dari Surabaya penerima Anugerah Seniman Berprestasi dari Gubernur Jatim tahun 2012.

Sosok low profile yang pernah berguru kepada sutradara Teguh Karya menceritakan, dalam dialog dengan pimpinan Teater Populer itu, Zainuri menerima informasi tentang sosok Slamet Rahardjo kakak Erros Djarot yang menurut Google nama asli Erros adalah Soegeng Rahardjo Djarot.

“Jika diibaratkan pohon, Slamet Rahardjo adalah pohon besar yang rimbun dengan akar yang kuat,” tuturnya. “Slamet cenderung hati-hati…” kata Zainuri melanjutkan, mengutip pendapat Teguh Karya.

Tentang Erros Djarot, Teguh Karya mengatakan, Erros banyak melakukan terobosan-terobosan. Apa yang disentuh Erros Djarot selalu jadi. Namun, Erros diibaratkan Teguh, sering berada di pohon yang banyak duri. Dipenuhi risiko.

Begitu perbedaan kakak dan adik tersebut, yang satu hati-hati, satunya lagi lincah dengan berbagai terobosan.

Nah, apa yang dilakukan Erros Djarot terhadap : lagu, film, bahkan dunia jurnalistik, menarik untuk diamati. Kesimpulan : Erros Djarot fenomenal.

Sekitar awal 1990-an saya pernah menemui Dahlan Iskan bos Jawa Pos di kantor yang saat itu masih di Jl. Karah Agung 45, Surabaya. Di depan meja ruang tamu di utara lobi yang ada aquarium besar, tergeletak sejumlah koran.

Entah saya lupa konteknya apa, Dahlan mengambil Tabloid Detik, lantas bilang begini : “koran ini akan jadi besar”.

Ya, Detik adalah tabloid yang dipandegani Erros Djarot, yang lantas diberedel Orba bersama majalah Tempo dan majalah Editor.

Ternyata yang dikatakan Dahlan benar, tahun 1994 Detik yang mengkhususkan pada tema politik itu punya oplah 600.000.

Dalam konteks lain, ketika “tongkat” Erros menyentuh film, maka ‘Tjoet Nya’ Dhien’ yang disutradarainya –tahun 1988– dalam Festival Film Indonesia, dinobatkan sebagai film terbaik dengan meraih 8 Piala Citra.

Tentang lagu-lagu yang ditulis Erros Djarot, banyak orang berpendapat bahwa temanya adalah percintaan. Tetapi tema ini didukung oleh lagu dan lirik yang berbeda dengan tema percintaan pada umumnya. Lirik yang ditulis Erros pada lagu-lagunya cenderung dalam dan kontemplatif. Maka, jika diorkestrasikan akan terdengar gaung keagungannya.


Sebagaimana hubungan kakak-adik, biasanya mereka saling melindungi, saling menyayangi. Lebih-lebih jika saya bayangkan konteksnya terproyeksi kepada Slamet Rahardjo & Erros Djarot : Dewi, istri Erros Djarot, adalah kakak dari Mira istri Slamet Rahardjo.

Sebagaimana banyak orang tahu, kedua wanita ini adalah putri dari Ilen Surianegara diplomat yang budayawan, pernah menjabat Duta Besar di Aljazair dan Tunisia.
(Amang Mawardi)