Oleh
Dr. Mulyadi (Opu Andi Tadampali)
Dosen Ilmu Politik
Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia

Dalam demokrasi yang memburuk, apa saja yang buruk semuanya bisa terjadi. Defenisi operasional bahwa politik ialah upaya mencegah atau melawan segala yang tidak pantas atau segala yang tidak patut, tidak berlaku bagi semua rezim politik non-demokratis. Namun selama periode terakhir rezim Presiden Jokowi, tesis dan defenisi itu tidak berlaku dalam kasus Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Terbukti di tengah kewenangannya yang sangat minim, DPD RI masih tetap bisa berfungsi sebagai wakil warga Republik, juru bicara kepentingan rakyat.

Buktinya, pada 10 Nopember 2023, berbagai wakil kekuatan-kekuatan politik rakyat yang jumlahnya ribuan, dari berbagai penjuru nusantara berdatangan ke Gedung Nusantara IV Kompleks Parlemen Senayan Jakarta untuk menyampaikan aspirasi politiknya kepada DPD RI tentang fondasi dasar sistem politik Indonesia menurut pemikiran politik para pendiri bangsa dan negara. Menarik bahwa para pengendali gumpalan aspirasi politik itu lebih memilih menyalurkannya kepada DPD RI daripada kapada DPR RI atau MPR RI. Sebelumnya, pada Sidang Bersama di MPR RI tanggal 16 Agustus 2023, DPD RI menyampikan asirasi politik rakyat nusantara yang nadanya relatif sama, tentang pentingnya penataan kembali sistem politik Indonesia sesuai cita-cita kemerdekaan.

Perwakilan Politik Repsentatif

Itu tentu keberhasilan rezim politik Presiden Jokowi yang luput dicatat oleh banyak intelektual, untuk tidak mengatakan bahwa DPD RI hanya luput dari intervensi politik. Sebab, andai saja rezim politik Presiden Jokowi ini ingin melakukan intervensi politik, itu bukanlah suatu perkara sulit. Rezim politik Presiden Jokowi yakin sekali bahwa DPD RI adalah institusi perwakilan politik paling repsentatif di republik ini, dimana anggotannya dipilih oleh warga dalam satu provinsi untuk bertindak sebagai wakil dari tiga local autonomy: local politics, local government, dan local administrative. Rezim politik Presiden Jokowi ingin DPD RI tetap melaksanakan tugasnya sebagai artikulator politik dan agregator politik. Sebab, menghancurkan DPD RI sama saja kalau menghancurkan seluruh local autonomy republik ini, yang berarti pula juga menghancurkan pondasi politik republik ini.

Secara politik, ada lima tingkatan argumen akademis untuk mengatakan bahwa DPD RI adalah institusi perwakilan politik paling repsentatif di republik ini, yakni: (1) political theology, yakni tugas, fungsi, dan tanggung jawab DPD berkisar pada pemeliharaan norma religius berupa nilai-nilai sakral yang dianut oleh rakyat nusantara; (2) political philosophy, yakni tugas, fungsi, dan tanggung jawab DPD berkisar pada pemeliharaan norma moral berupa kebajikan (virtue) yang jalankan oleh rakyat nusantara; (3) political thinking, yakni tugas, fungsi, dan tanggung jawab DPD berkisar pada pemeliharaan nalar ilmiah melalui metode ilmiah berupa cara-cara ilmiah dalam memenuhi kepentingan rakyat; (4) political ideology, yakni tugas, fungsi, dan tanggung jawab DPD berkisar pada penjagaan nilai-nilai puncak dari tradisi, ada-istiadat dan budaya nusantara melalui ideologi negara berupa sila demi sila dalam Pancasila; dan (5) political opinion, yakni tugas, fungsi, dan tanggung jawab DPD berkisar pada upaya pemenuhan kesejahteraan dan kemakmuran bersama berdasarkan kehedendak umum melalui publik etik berupa keputusan dan kebijakan politik.

Menimbang Opini Media Sosial

Tidak seperti hari-hari sebelumnya dimana media sosial terutama WhatsApp Group banyak diwarnai evaluasi terhadap periode akhir rezim politik Presiden Jokowi dan harapan tinggi pada pemerintahan rezim politik Presiden Prabowo Subianto yang tinggal berbilang hari lagi. Namun pada tiga hari berturut-turut, 23-25 September 2024, WhatsApp Group juga diwarnai oleh berbagai tanggapan terhadap beredarnya foto-foto anggota DPD RI terpilih 2024-2029 yang bertemu dengan Prabowo Subianto di kantor Kementerian Pertahanan.

Berbagai respon yang tidak sulit ditebak, yakni pro-kontra yang dipicu oleh tafsir politik berupa dugaan-dugaan dan spekulasi. Satu respon yang unik terhadap pertemuan itu adalah pihak yang memanfatkan pertemuan itu sebagai alat propaganda politik untuk memobilisasi dukungan politik pada pemilihan pimpinan DPR RI periode 2024-2029 pada tanggal 1 Oktober 2004. Dari komentarnya yang menyertai foto-foto pertemuan, terbaca tujuannya yang ingin membentuk opini politik bahwa Prabowo Subianto seolah ‘telah merestui’ anggota DPD RI yang hadir itu sebagai Paket Pimpinan DPD RI periode 2024-2029.
Terhadap propaganda politik dan pembentukan opini politik tersebut, perlu kiranya dicatat tiga hal pokok, yaitu: (1) Prabowo Subianto di berbagai tempat telah menyampaikan political will­-nya yang sangat serius untuk membangun pemerintahannya yang transparan, akuntabel, kredibel, dan partisipatif, yang berarti bahwa pilihan politiknya sudah final berada di titik profesionalisme. Dengan demikian propaganda politik dan pembentukan opini politik itu harus dipandang sebagai strategi terselubung pihak eksternal untuk tujuan pembusukan politik (political decay) terhadap kepemimpinan politik Prabowo Subianto sebagai presiden yang dimulai pada bulan Oktober 2024 mendatang; (2) belajar dari sikap politik Jokowi yang terbukti tidak mengintervensi DPD RI, Prabowo Subianto tentu ingin lebih baik dari para pendahulunya dalam hal penataan sistem politik. Dengan demikian propaganda politik dan pembentukan opini politik itu harus dicerna sebagai cara taktis pihak eksternal untuk mendegradasi kedudukan DPD RI sebagai lembaga tinggi negara; dan (3) motif politiknya yang relatif mudah ditebak, yakni ke depan tidak ingin lagi DPD RI menjadi “rumah sehat” bagi aspirasi politik rakyat, sehingga propaganda politik dan pembentukan opini politik harus dilihat sebagai proxi pihak eksternal yang bermaksud mendorong terjadinya konflik akut di tubuh DPD RI.

Menepis Syak Wasangka

Secara politik, pertemuan anggota DPR RI terpilih 2024-2029 dengan Prabowo Subianto adalah upaya serius dua pihak mengkomunikasikan niat baiknya untuk membangun kebesaran republik ini, sehingga tidak perlu diberi tafsir bermuatan politik berupa propaganda politik dan pembentukan opini politik untuk tujuan memobilisasi simpati dan dukungan politik. Ini adalah pertemuan silaturahami biasa antara dua pihak yang sama-sama memiliki tanggung jawab politik ke dapan dalam membangun republik yang oleh berbagai kalangan dinilai sudah pada tahap mengkhawartirkan. Political will-nya ­ yang sudah sangat tegas dan sudah memperoleh dukungan politik dari rakyat membuat Prabowo Subianto hampir mustahil ditarik-tarik ke dalam permainan politik yang tak berguna bagi Republik ini.

Satu hal yang pasti adalah pemilihan pimpinan DPD RI periode 2024-2029 adalah hak politik para anggota DPD RI yang baru, sehingga mencampurinya sama saja kalau merendahkan dua kehormatan sekaligus, yakni kehormatan anggota DPD RI periode 2024-2029 sebagai wakil rakyat, dan kehormatan DPD RI sebagai lembaga tinggi negara, dimana taruhannya adalah “rumah sehat aspirasi politik” bagi seluruh warga Republik. Juga meletakkan Prabowo Subianto pada posisi memihak, sama saja berupaya menghancurkan kepemimpinan politiknya yang sangat penting dalam membangun Republik ini ke depan. Namun semua itu tentu tidak mungkin bagi sosok Prabowo Subianto yang lama ditempa di basis-basis ‘prajurit pejuang’ dan ‘pejuang prajurit’, seorang jenderal yang lahir dari rahim ‘tentara profesional revolusioner’, tipologi militer terbaik di dunia. [*]