Oleh:
Masayu Indriaty Susanto

KEMPALAN: Era media konvensional tak bisa dipungkiri menuju senja kala. Termasuk juga industri televisi yang selama ini selalu bertengger sebagai media paling berpengaruh. Internet tentu saja menjadi “pembunuh” utama.

Generasi Y dan Z tampaknya tidak lagi tertarik menonton televisi. Mereka lebih tertarik menikmati tontonan di Youtube atau Netflix yang bisa diakses dari ponsel atau laptop, di mana saja dan kapan saja.

Mereka juga mendengar musik, membaca novel, membaca berita, dan sibuk bermedia sosial melalui smartphone.

Disrupsi media ini tentu saja berdampak serius bagi industri media. Berbagai strategi dilakukan untuk mengadaptasi perkembangan teknologi. Banyak terobosan harus dilakukan perusahaan media hanya untuk sekadar survive.

Dengan melakukan strategi konvergensi media dan bahkan juga cross media. Namun tak sedikit juga yang akhirnya tumbang.

Fenomena inilah yang ditangkap dan dianalisa oleh Irwan Setyawan dalam bukunya “Masa Depan Industri Televisi di Tengah Perang Streaming dan Serbuan Raksasa Teknologi Informasi”.

Pada buku terbitan Gramedia Pustaka Utama setebal 177 halaman ini, Irwan Setyawan mengupas perubahan yang begitu cepat dalam industri televisi dan internet.

Juga bagaimana para pengelola media besar internasional menghadapi perubahan yang terjadi, terutama menghadapi disrupsi dalam industri media.

Rekam jejak Irwan Setyawan sebagai praktisi media dengan pengalaman selama 30 tahun lebih terlihat jelas dalam buku ini.

Analisa yang tajam disampaikan dengan bahasa yang runut dan mudah dipahami meski berlimpah data dari berbagai sumber yang kredibel.

Penulis menjelaskan, hanya dalam beberapa tahun belakangan, bisnis industri televisi meredup. Iklan yang menjadi napas utama industri media secara fenomenal beralih ke media berbasis internet alias streaming.

Kalau dulu televisi broadcasting lah sasaran utama pada pemasang iklan. Namun kini, porsi besar iklan beralih ke raksasa teknologi semacam Google dan Alphabet melalui dua platform digitalnya, yaitu Youtube dan Facebook

Alphabet memperoleh pendapatan iklannya sebanyak 88 persen. Sedangkan Facebook lebih besar lagi, 95 persen pendapatannya dari iklan.

Bukan saja iklan, kehadiran TV streaming di channel Youtube dan Netflix pun sukses merebut penonton TV konvensional penikmat hiburan. Lengkaplah sudah nasib buruk industri televisi konvensional.

Perusahaan media televisi di seluruh dunia pun terkena imbasnya. Langkah efisiensi harus ditempuh.

Al Jazeera misalnya, saluran televisi Qatar itu harus merumahkan 500 karyawannya dan menghentikan operasionalnya di Amerika Serikat sejak 2016.

Pengurangan tenaga operasional ini segera menular dan diikuti berbagai perusahaan media besar lainnya. Termasuk Cable News Network (CNN), American Broadcasting Corporation (ABC) dan Columbia Broadcasting System (CBS).

Sekarang, media streaming lah yang makin kukuh sebagai nomor satu dalam hal jumlah penonton juga menjadi incaran para pembelanja iklan.

Dalam buku ini, penulis mencermati disrupsi media yang terjadi di Amerika Serikat. Negara yang menjadi barometer industri media televisi internasional.

Di Negeri Paman Sam itu, peralihan penonton dari televisi konvensional ke streaming sudah terjadi sejak 2016.

Sepuluh tahun lalu di AS, penonton TV kabel menduduki peringkat pertama terbanyak. Menyusul TV free to air (tidak berbayar atau pakai antena), kemudian TV streaming di peringkat tiga.

Namun saat ini, penonton TV streaming justru menduduki peringkat pertama. Menyalip TV kabel dan TV tak berbayar.

Sinetron Masih Jadi Idola

Bagaimana di Indonesia? Tentu saja menunjukkan tren yang sama dengan Amerika Serikat. Meski Indonesia dinilai tertinggal 10 sampai14 tahun dalam perkembangan media dibandingkan dengan AS.

Namun penurunan belanja iklan televisi di Indonesia sudah mulai terjadi sejak 2016. Dan terjadi lonjakan belanja iklan digital di saat yang sama.

Data PubMatic menyebutkan, dari tahun 2018-2019 saja, iklan digital Indonesia mencapai Rp36,5 triliun.

Namun menariknya, jika di AS TV streaming meraih jumlah penonton terbanyak. Di Indonesia, penonton terbanyak masih diduduki TV free to air (tidak berbayar, pakai antena).

Bukan itu saja, dari jenis acara pun terlihat perbedaan yang cukup kentara antara selera penonton di AS dan Indonesia. Di AS, jenis acara TV terbanyak ditonton adalah siaran berita dan acara olahraga (Piala Dunia dan sebagainya).

Namun di Indonesia, tontonan yang memperoleh rating tertinggi jumlah penontonnya justru drama seri (sinetron) dan reality show.

Drama seri adalah jenis acara yang meraih rating tertinggi di AS sepuluh tahun lalu. Namun kini, selera penonton di As sepertinya berubah. Acara berita dan olahragalah yang meraih jumlah penonton paling banyak.

Ancaman Bagi
Identitas Anak Bangsa

Dari analisa itulah, penulis memprediksi, disrupsi yang terjadi di Indonesia akan mengikuti apa yang telah terjadi di AS. TV streaming akan mengalahkan TV konvensional dan itu sepertinya hanya tidak menunggu waktu.

Apalagi era teknologi 5.0 sudah di depan mata, yang berarti, akses dan kecepatan jaringan internet tidak akan menjadi masalah lagi di negara kita ke depannya.

Namun hal itu juga membawa masalah besar. Era media streaming akan menjadikan arus konten produksi negara barat, sebagai pemasok konten terbesar dunia, akan deras masuk ke Indonesia.

Hal ini akan menimbulkan masuknya nilai-nilai dan karakter barat yang akan menggerus karakter masyarakat terutama anak bangsa.

Prof Dr Widodo Muktiyo, Guru Besar Ilmu Komunikasi Fikom Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo mengingatkan itu dalam kata pengantar di buku ini.

Prof Widodo Muktiyo menegaskan, para konten creator Indonesia harus bergerak dan produktif dalam mengatasi derasnya arus konten streaming dari luar.

Karena hal itu bisa menjadi “benteng” untuk melindungi identitas bangsa.

Secara garis besar, buku ini sangat direkomendasikan sebagai acuan bagi mahasiswa, akademisi, jurnalis, maupun peneliti yang mendalami era disrupsi media terutama dalam industri televisi dan media streaming.

Sebagai praktisi media dengan pengalaman selama 30 tahun lebih, Irwan Setyawan mengulas hal itu dengan begitu detil, praktis, dan sistematis.

Penulis adalah lulusan sarjana komunikasi dari UNS Solo dan magister komunikasi dari Universitas Mercu Buana Jakarta.

Telah berkarir sebagai jurnalis Jawa Pos sejak masih sebagai mahasiswa. Sebagian besar karirnya dijalani di media cetak, namun kemudian beralih ke televisi.

Terakhir, penulis adalah Direktur Jawa Pos TV, jaringan tv yang memiliki 53 stasiun televisi. Terbesar kedua di Indonesia saat ini,

Irwan Setyawan saat ini adalah akademisi di Tanri Abeng University (TAU), dosen praktisi di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta, juga dosen tamu di berbagai perguruan tinggi lainnya.. (*)