Oleh: Ady Amar, Kolumnis

KEMPALAN: Sungguh tak dinyana PKS tegah mengunci Anies Baswedan dengan cara yang sejatinya bukanlah perwatakannya. Rencana awal memang sih Anies akan disandingkan dengan Wakil Ketua Majelis Syura PKS M. Shohibul Iman. Tapi Anies dibebani mencari kekurangan kursi untuk dapatnya pasangan Anies dan Iman (AMAN) bisa melenggang berlaga dalam kontestasi Pilkada Jakarta.

Mencari kekurangan kursi, disebutnya 4 kursi, bukankah itu tugas partai lewat lobi-lobi antarpartai, mengapa mesti dibebankan pada Anies. Tugas Anies lebih pada menjaga elektabilitasnya tetap tinggi untuk keterpilihannya.

Membebankan pada Anies, itu lebih pada sikap PKS untuk cuci tangan atas ketakmampuan melobi partai lainnya untuk mengusung pasangan AMAN, dan lalu membebankan itu pada Anies. Tenggat waktu untuk Anies pun ditentukan sampai 4 Agustus 2024. Jika sampai tenggat waktu yang ditentukan Anies tak mampu memenuhinya, maka kesepakatan itu tidak berlaku, atau kesepakatan itu menjadi tidak mengikat PKS untuk mengusung Anies di Pilkada Jakarta.

Sikap PKS mengunci Anies dengan tenggat waktu itu boleh juga jika disimpulkan, bahwa saat ini PKS tengah membuka opsi lain bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM). Sikap PKS yang masih malu-malu enggan berterus terang bahwa opsi yang dipilih ada dalam barisan KIM, itu bentuk kebimbangan dari langkah yang diambilnya, yang disadari bisa menimbulkan gelombang kemarahan konstituennya.

Tapi mau tidak mau-sungkan tidak sungkan dalam hitungan hari kedepan deklarasi bergabungnya PKS dengan KIM akan resmi dideklarasikan. Pembicaraan dengan KIM sepertinya sudah matang, sebagaimana disampaikan politisi senior Golkar Idrus Marham, bahwa Plus dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) itu tambahan dari 3 partai: NasDem, PKB dan PKS.

Menjadi sepaket Koalisi Perubahan yang pada Pilpres 2024 lalu mengusung Anies-Muhaimin, itu harus meninggalkan Anies dengan memilih meleburkan diri dalam KIM. Terbitlah KIM Plus. Koalisi Pembaharuan bagai onggokan dalam kantong besar KIM.

Maka Anies tak jadi opsi pilihan meski berbagai lembaga survei merilis hasil survei Anies jauh di atas Ridwan Kamil (RK), yang tengah digadang berkontestasi di Pilkada Jakarta melawan kotak kosong, atau dicarikan pasangan boneka agar tak merasa malu jika kotak kosong jadi pemenangnya. Kata Ahok, kalau RK melawan kotak kosong, ia sangat yakin pemenangnya adalah kotak kosong.

BACA JUGA: Keroyokan Menjegal Anies: Episode Pembusukan Demokrasi

Santer berita bahwa RK akan dipasangkan dengan putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep. Agaknya Jokowi tak sampai hati jika di 20 Oktober 2024 saat ia purna tugas sang bungsu belum punya jabatan yang bisa dibanggakan keluarga. Keadilan bagi anak-anak sepertinya perlu dilakukan meski itu laku nepotis menjijikkan.

RK sebelumnya lebih memilih Pilkada Jawa Barat ketimbang Pilkada Jakarta jika harus berhadapan dengan Anies sebagai lawannya. RK tak percaya diri melawan Anies. Bahkan Golkar pengusung utamanya keukeuh tak mau kehilangan wilayah Jawa Barat yang kans kemenangan RK mengungguli kandidat lain, Dedi Mulyadi yang diusung Gerindra.

Tukar guling pun dilakukan–saat sudah dipastikan PKS mampu mengunci Anies hingga gagal melenggang di Pilkada Jakarta–RK ditarik lagi ke Jakarta, dan Dedi Mulyadi melenggang di Pilkada Jawa Barat. Atur mengatur ini tidak saja di dua provinsi, tapi sampai ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan lainnya. Seperti bagi-bagi jatah di antara partai besar dalam KIM. Bersinergi dalam pembusukan demokrasi.

PKS jika sudah pasti berkoalisi dengan KIM dengan imbalan jatah 2-3 kursi menteri, itu sungguh diluar value yang selama ini dipegangnya. PKS yang selama ini disebut partai dakwah tampak pragmatis. Watak politiknya berubah. Menjadi tak beda dengan partai lainnya.

Masih ada waktu PKS berbenah memikirkan langkahnya. Tak perlu ikut grusa-grusu dengan NasDem dan PKB–dua partai yang seperti tak punya pilihan lain jika tak ingin digebuk karena dosa politik, atau bisnis elitenya yang jadi sasaran diganjal jika tak sejalan pilihan politik dengan rezim–yang itu tentu beda dengan PKS yang sulit dikulik untuk dihabisi. Elite PKS seperti tak menyimpan dosa politik masa lalu yang bisa dikerjai dalam sandera politik.

Hari-hari ini konstituen PKS tengah menunggu sikap politik yang akan diambil, yang tentu selalu diputuskan lewat Majelis Syura, memilih mendengarkan aspirasi konstituennya untuk mengusung Anies Baswedan dalam Pilkada Jakarta. Atau justru para elite lebih memilih bergabung dalam lingkar kekuasaan dengan konsekuensi ditinggal konstituennya. Saat ini, setidaknya saya, tengah menakar iman PKS!**