KEMPALAN : Nama Mbah Bey Al Kampretzx salah satu yang mengundang perhatian saya di Facebook sekitar 7 tahun lalu. Saya punya keyakinan, tentu ini nama samaran.
Postingan-postingannya eksotik, terutama gambar-gambar meme yang foto-fotonya entah dia unduh dari mana, dengan dialog-dialog yang dia karang dan dia cantumkan pada “balon” meme-meme itu : menggelitik.
Kocak, sarat sindiran, kadang bernada gojlogan, sesekali filosofis, terkesan intelektual — itulah gambaran meme-memenya.
Lambat laun saya mengenal tampangnya, yang sesekali muncul dari foto yang dia unggah atau teman-temannya unduh untuk melengkapi status atau komen.
Lambat laun pula saya tahu bahwa dia seorang pelukis. Tetapi siapa dia sebenarnya, saya masih buta. Sekedar lamat-lamat, saya dengar dia tinggal di Sidoarjo.
Ketika saya tanyakan kepada sahabat saya Bambang Tri ES. pelukis kaligrafi yang tinggal di Sidoarjo, “Itu Rojib, mas … Lengkapnya Fathur Rojib … Dia dulu berguru pada pelukis (surealis) almarhum Lukman Azis yang tinggal di Desa Siring (nama desa ini mengingatkan saya pada Lumpur Lapindo)”. Saya pun kenal dengan Lukman Azis.
Pertama kali saya mengomentari statusnya, dia membalas, antara lain dengan menyebut, “O .. Pak Amang… ‘Galeri Berjalan’ …”
Saya kaget! ‘Galeri Berjalan’ adalah nama EO yang dulu saya gunakan kalau menghendel sekian pameran lukisan. Sudah lama saya tidak mendengar nama ini. Lha kok Mbah Bey Al Kamptetzx tahu tentang “masa lalu” saya. Menarik!
Semakin menarik lagi ketika dia mengaku profesinya adalah kuli bangunan. Dan dia bangga dengan profesi itu. Sementara melukis adalah hobi yang dia muliakan.
Saya pikir soal profesi itu sekadar guyonan. Saat saya konfirmasi dengan sahabat saya yang pelukis tadi, dibenarkannya.
Pernah di postingannya terpampang foto saat dia ngecat di sebuah SD di Sidoarjo. Lantas ditulisnya beberapa kalimat. “Nggarap di SD (ia menyebut nama SD itu), lumayan… dapat bayaran plus bonus nglirik Bu Guru yang cantik-cantik … he-he-he,” monolognya.
Namun, saat ngecat SD itu di hari berikutnya, dia posting foto murid-murid bermain dengan banjir sebatas dengkul, di halaman sekolah — lantaran semalam hujan deras.
“Wis tak jarno dulinan banjir, gak tak laruhi. Cikno seneng arek-arek iku. Mangkel aku, wingi mestine wayah bayaran lha kok ditinggal rapat karo guru sing diserahi, aku poleh gak gajian …”.
Maksudnya: murid-murid SD itu tidak dinasihatinya supaya tidak bermain banjir, biar sesekali bersenang-senang. Dan tersebab utama dia jengkel bahwa waktunya gajian, guru yang diserahi nyerahkan gaji lupa. Ditinggal rapat. Jadinya dia gak gajian.
*
Ekspresif, ceplas-ceplos, barangkali itulah gambaran dia sehari-hari, kendati dia juga berhati lembut. Tentu ini bukan upaya untuk me-lebay-kan dia. Terbukti saat pertama kali dia bertemu saya kurang lebih 3-4 tahun lalu, sikapnya sebagai orang muda 40-an tahun terhadap saya yang sudah 60-an begitu tawadu’. (Sekarang saya sudah 70-an, dua bulan lagi 71 tahun, Lur).
Beda dengan ceplas-ceplosnya di Facebook, beda dengan meme-memenya yang “nakal”, dan beda pula dengan tampangnya yang “sangar” lengkap dengan rambut gimbalnya. Yang jelas dia sosok tegas berhati lembut. (Mungkinkah begitu seniman pada umumnya?).
Sekarang dia tidak lagi menggunakan nama Mbah Bey Al Kamptetzx di Facebook. Dia menggunakan nama akun : Mbah Rojib.
Sekian tahun lalu, saya pernah nonton pameran lukisan bersama di Galeri Prabangkara, Taman Budaya Jawa Timur di Jalan Genteng Kali 85, Surabaya, dimana Fathur Rojib (artinya ‘permata yang indah’) bergabung dengan 19 pelukis dari Jatim lainnya.
Sebagaimana meme-memenya yang menggelitik, demikian juga dua lukisan yang dipamerkannya. Parodik! Surealistik!
Belakangan, sejak sekitar 3-4 tahun lalu, sudah jarang –bahkan mungkin, tidak sama sekali– terposting narasi tentang dia ngecat gedung sekolah atau rumah-rumah penduduk.
Saya membayangkan bahwa Fathur Rojib sudah bisa hidup total dari penghasilan sebagai seorang pelukis yang ber- style ekspresionisme dengan obyek alam dan lingkungan.
Dia sekarang sering posting persiapan berangkat ke lokasi on the spot. Tampak sepeda motornya dipenuhi : ransel berisi peralatan melukis, tripot, beberapa kanvas kosong yang sudah ber- spanram, juga bekal konsumsi.
“Sik rek, aku tak berangkat nyambut gawe, yo,” yang maksud ucapan pamit itu : “Sebentar, gaes, aku berangkat kerja dulu ya…” Melukis !
Wrrrnnnggg ! Kendaraan bermotornya lantas digebernya menuju Pandaan.
Otw tampak pemandangan rumah-rumah penduduk dan persawahan yang sudah banyak menyusut areanya — dimana pada benaknya saya yakini sudah ada beberapa
lokasi dipilih yang akan digunakan untuk tempat melukis, karena seringnya dia ber- on the spot di kawasan Pandaan di lereng Penanggungan yang indah.
Amang Mawardi jurnalis senior dan penulis, tinggal di Surabaya.
Tinggalkan Balasan