KEMPALAN : Sudah sekitar sebulan saya kepikiran terhadap sosok Nova Christiana, yang pameran lukisan tunggalnya di Galeri Merah Putih kompleks Balai Pemuda, Surabaya, pada 15-20 Juni lalu, belum juga saya tulis. Kalaupun menulis, baru sebatas straight news. Padahal, biasanya, manakala apa-apa yang kesannya bagus yang masuk ke bilik suara hati, segera saya manifestasikan secara deskriptif. Entah itu dalam bentuk tulisan di Facebook atau di media online.
Ketika saya membuka pamerannya berjudul Surabaya’s Timeless Aesthetics atas permintaan sobat Hamid Nabhan, saya benar-benar tak menduga.
Pasalnya, dari 4 event seni rupa yang pernah saya buka di galeri tersebut –mohon maaf– konten pameran inilah yang paling menyodok.
Saya pikir anak muda berpendidikan S2 Manajemen Keuangan dari Unair ini, akan menampilkan karya-karya “biasa”, mungkin salah satunya dikarenakan persepsi saya tentang penampilannya yang tidak mencerminkan sosok seniman sama sekali — lebih terlihat sebagai anak muda yang bercitra eksekutif.
Begitu pintu galeri hendelnya saya tekan ke bawah sebagai rangkaian tanda pembukaan, dan saya pun memasuki ruangan tersebut dengan melihat dan mengamati 16 lukisan karyanya dalam media cat air ( water color ) muncul monolog dalam hati : Jambu ! Bagus sekali karya-karya ini !
Hal tersebut boleh jadi lantaran Nova berhasil membangun suasana, menjadikan karya-karyanya ngelangut sarat dejavu, sehingga menimbulkan kalimat kesimpulan : Inilah sublimasi yang
indah !
Agak sulit saya definisikan, masuk ke aliran apa karya-karya tersebut. Realisme? Kayaknya tidak tepat benar. Impresionisme? Tidak sepenuhnya begitu. Mungkin yang lebih sesuai adalah gabungan antara dua style tersebut.
Yang jelas Nova Christiana berhasil menghadirkan karya-karya perfect berobyek city space, berupa bangunan-bangunan kuno peninggalan masa kolonial di Surabaya, maupun suasana di lokasi-lokasi kota lama, seperti : Kembang Jepun, Songoyudan, Bongkaran, Pasar Pabean, dan beberapa lokasi lainnya.
Pada akhirnya untuk menulis tentang sosok ini lebih lanjut, saya kehabisan bahan. Padahal keterpesonaan masih mengekor terus. Impresivitas batin, seharusnya diimbangi dengan fakta empiris lainnya. Di situlah barangkali akan menjawab tuntas kekaguman saya.
Sekadar ilustrasi, sehabis membuka pamerannya, saya keburu pulang. Anak saya, menantu, dan cucu, yang mengantar saya, sudah menunggu di basement Alun-Alun Surabaya, untuk selanjutnya bergeser ke tempat lain. Padahal saya baru sekadar berbasa-basi dengan sosok yang ramah dan santun ini. Belum ngobrol secara “deep talk”. Pertama kali
ketemu ya di opening ini.
Karena diminta oleh Mas Hamid Nabhan pelukis, penyair, dan yang belakangan rajin menulis persoalan seni rupa, saya mengiyakan untuk membuka pameran tunggal Nova Christiana.
Begitulah, sesuatu yang menohok, semestinya dicari apa penyebabnya. Sekadar terpesona tanpa alasan yang jelas sungguh kurang elok, sebagaimana saya singgung di atas. Sementara, saya kekurangan bahan untuk mendiskripsikan kekaguman saya.
Saat saya cari di google, yang saya dapati banyak berita straight news tentang pelukis yang pernah sekolah di SMP Negeri 6 di Jalan Jawa, Surabaya.
Sehabis opening pameran malam itu, 2 hari kemudian saya aprove pertemanan dengan Nova di Facebook. Lantas saya coba telusuri berandanya.
Memang lain daripada yang lain. Di situ saya dapati suasana keseharian Nova Christiana dan sekian aktivitasnya di dunia pergaulan maupun yang bersinggungan dengan kegiatan pameran lukisan di Jawa Timur, khususnya Surabaya.
Ternyata tidak itu saja. Ada terbaca pandangan-pandangannya terhadap politik, ekonomi, sosial, budaya dan dunia pendidikan dengan segala macam problematika.
Salah satu postingannya mem- foreward gambar seekor serigala besar berpidato di mimbar, berdiri di hadapan ribuan biri-biri, di halaman gedung parlemen. Di “balon” gambar tadi tertulis : “After Iam elected, I will become a vegetarian !”.
Sebuah parodi yang mengancam batin siapa pun yang mencintai demokrasi sejati.
Atau Nova posting sebuah lukisan yang menggambarkan kehidupan sekian abad lampau, yang ia kutip dari ‘Science Prove’, di mana di bagian atas gambar itu tertulis (setelah diterjemahkan) :
Sejarah selalu ditulis oleh para pemenang. Ketika dua budaya bentrok, yang kalah dihancurkan. Pemenang lantas menulis buku-buku sejarah yang mengagungkan tujuan mereka sendiri dan meremehkan yang ditaklukkan.
Sementara itu, beberapa kali mencuat narasi catatan-catatannya dalam bahasa Inggris yang terstruktur apik dan benar.
Dari sini saya bisa membaca sikap sosok seniman yang intelektual ini dalam bingkai dan isi: Teguh !
“Mas Hamid, saya minta tolong, bisa gak mengatur wawancara saya dengan Mbak Nova,” japri saya ke nomor WA Hamid Nabhan, setelah sebelumnya saya dahului dengan kalimat : “Saya perlu tambahan data untuk melengkapi tulisan saya.”
“Ya, Pak Amang. Segera saya teruskan ke Mbak Nova,” responnya.
Kurang lebih seminggu kemudian, Hamid Nabhan menjawab : “Oke Pak Amang, kita ketemu di (dia menyebut tempat di salah satu mol di kawasan Surabaya pusat). Jam 4 sore ya…” jelasnya.
Dalam pertemuan itu, yang pertama saya tanyakan tentang iklim seni rupa di Surabaya, khususnya seni lukis.
Nova tidak langsung menjawab. Memandang saya sebentar, lantas wajahnya menunduk, kemudian menatap lagi wajah saya disertai seulas senyum. Baru kemudian dikatakan bahwa secara kuantitatif cukup marak, ditandai hampir setiap minggu sekali ada saja opening pameran lukisan. Bahkan lebih dari satu event.
Selain itu, heterogenitas aliran banyak sekali bermunculan, baik yang digerakkan secara personal maupun oleh komunitas. “Tentu, ini sangat menggembirakan,” ujarnya. “Produktivitas teman-teman luar biasa,” katanya lagi.
Namun, Nova dengan volume suara sedikit lebih pelan mengatakan bahwa kenapa Surabaya jarang disebut dalam peta wacana seni rupa Indonesia? Yang terdengar : Jakarta, Bandung, Jogja, dan Bali?
“Kita wajib berjuang bersama untuk bisa masuk ke circle itu”.
Nova teringat banyak tentang cerita sejarah seni rupa di Surabaya sekitar 30-50 tahun lalu, dengan potensi dan karakter kuat dari Bapak-bapak pelukis seperti Pak Darjono, Pak OH Supono, Pak Khrisna Mustadjab, Pak Nuzurlis Kotto, Ibu Nunung WS, Mas Dwijo, Mas Mahfud, Mas Serudi, Mas A. Pribadi, dan masih ada beberapa lagi.
“Kabarnya,” lanjut Nova, “Dari potensi itu, terbentuk Aksera-isme. Sehingga mazhab ini masuk dalam lingkaran yang tadi saya sebut.”
Sekadar catatan, Aksera adalah akronim dari Akademi Seni Rupa Surabaya.
“Tentu,” kata Nova, “kita tidak ingin persis seperti itu, kesungguhanlah yang nanti –entah, kapan– akan melahirkan mazhab seperti apa.”
Nova yang memulai melukis sejak di SMP, saat ditanya siapa pelukis yang banyak menginspirasinya, ia menyebut : Andrew Wyeth, dari Amerika Serikat, spesialisasi water color dan tempera; J.M.W. Turner dari Inggris, media water color; J. Sorolla pelukis Spanyol.
Untuk pelukis Indonesia ? Agak lama Nova terdiam, baru kemudian ia menyebut nama Raden Saleh. Dikatakannya, Raden Saleh memiliki kwalitas tinggi sebagai pelukis realis. Di luar hal-hal teknis dan “isme”, Raden Saleh punya jiwa nasionalisme yang tak perlu diragukan.
Tentang pelukis-pelukis manca yang tadi dikatakannya, mungkin Nova lupa menyebut deskripsi masing-masing. Boleh jadi karena saya tidak mengejar dengan pertanyaan lebih lanjut.
Namun saat saya browsing google, saya temukan keterangan tentang pelukis J.A.W. (Joseph Mallord William)Turner, 23 April 1775 – 19 Desember 1851.
Pelukis yang lahir di Covent Garden, dan meninggal di Chelsea — Inggris, berjaya di Zaman Romantik, dan dia dikenal sebagai pelukis naturalis (lanskap) dengan media water color.
Sore semakin mendekati senja, sebelum saya mengakhiri wawancara, saya teguk jus jambu yang sungguh segar, lantas: “Adakah bakat orangtua yang menurunkan darah seni kepada Anda?”.
Wajahnya lantas tampak kentara berbinar cerah. ” Dari Mama. Ya, dari Mama !” jawabnya disusul senyum ramahnya sedikit lebar.
“Mama Mbak Nova pelukis?”.
“Bukan,” jawabnya. “Mama seorang penjahit…”.
Jangan salah ya, mungkin yang dimaksud Nova Chritiana adalah penjahit kategori modiste, penjahit sekaligus perancang pakaian yang papan tanda identitas jasa ini dulu banyak terpampang di bagian depan rumah atau gedung, di Surabaya.
Jadi, unsur design pada modiste di sini, erat sekali dengan dunia menggambar, merancang, yang lantas boleh jadi semakin mengalir pada darah seni Nova Christiana yang pada 30 Juni 2024 akan bertolak ke Penang, Malaysia, selama seminggu mengikuti pertemuan para pelukis cat air se-Asia.
Hamid Nabhan yang bergabung dalam wawancara ini dan bertindak semacam moderator, menutup dengan kalimat bernuansa kredo : Jika seni gagal menjawab persoalan dengan kata-kata, maka warna dan garislah yang akan menyelesaikannya.
Amang Mawardi jurnalis senior dan penulis, tinggal di Surabaya.
Tinggalkan Balasan