Dosen adalah pendidik profesional yang diangkat berdasarkan hasil ujian sertifikasi dosen dan diberi tunjangan atas tugasnya melakukan Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian Masyarakat. Pada saat ini, dosen pada umumnya berorientasi melakukan pendidikan dan pengajaran secara rutin, namun untuk Tridharma penelitian dan pengabdian masyarakat dilakukan secara selektif, berdasarkan ketersediaan dana penelitian dan pengabdian Masyarakat yang tersedia dari berbagai pihak, termasuk pihak internal perguruan tinggi.
Pada kenyataannya dosen melakukan tugas pendidikan dan pengajaran, sebagai tugas utama sebagai tugas utama yang tidak boleh ditinggalkan, sedangkan tugas penelitian dan pengabdian masyarakat dapat dilakukan bila mendapat dana penelitian atau dilakukan secara berkelompok karena keterbatasan dana di perguruan tinggi. Pada hal seharusnya Tridharma Perguruan Tinggi yang dilakukan oleh dosen merupakan pengejewantahan tanggungjawan janji stakeholder pada saat mendirikan perguruan tinggi. Bagi perguruan tinggi yang dikelola oleh masyarakat, janji utama kepada legulator pemberi ijin pendirian perguruan tinggi adalah menjamin terlaksananya Tridharma Perguruan Tinggi. Namun pada kenyataan setelah ijin penyelenggeraan perguruan perguruan tinggi diperoleh, ternyata hanya dana pelaksanaan pendidikan dan pengajaran yang secara mandiri disediakan oleh perguruan tinggi yang dikelola Masyarakat, sedangkan dana penelitian dan pengabdian masyarakat umumnya diharapakan dapat diperoleh dari scholarship, pihak ekternal, termasuk dari pemerintah. Kondisi ini pun terjadi pada perguruan tinggi negeri, terbiasa mengharapkan dana penelitian yang disediakan oleh pihak ketiga termasuk yang umum dan terbesar adalah dari penerintah.

Kondisi peneliti di perguruan tinggi

Dosen pada dasarnya bukan peneliti kompeten, karena dosen dengan sertifikat dosen adalah pendidik professional, pendidikan kompeten dan bukan peneliti profesional atau peneliti kompeten. Namun dosen sebagai pendidik ditugaskan antara lain sebagai dosen metodologi penelitian, ditugaskan melakukan penelitian, ditugaskan membimbing mahasiswa melakukan penelitian dari jenjang S1 sd S3, ditugaskan mempublikasi luaran hasil penelitian dan terakhir ditugaskan membimbing mahasiswa membuat laporan dan mempublikasi hasil penelitian penelitian mereka. Lantas pertanyaanya, dosen melakukan tugas mereka itu dengan pengetahuan metodologi penelitian apa dan yang mana? Hampir semua jawabannya, mereka mengandalkan pengetahuan metodologi penelitian yang diperoleh saat dulu kuliah, membuat skripsi, tesis dan disertasi. Itupun belum tentu mereka dalam posisi menguasai metode penelitian, alias hanya melakukan penelitian dengan pengetahuan metodologi penelitian yang terbatas. Inikah cara dosen Indonesia melaksanakan tugas mereka?, Pantas kalau hasil-hasil penelitian di kampus-kampus Indonesia tidak dapat bersaing dengan kampus-kampus di negara lain, bahkan negara tetangga Indonesia sendiri.
Dengan begitu besar tugas yang berkaitan dengan penelitian, maka dosen membutuhkan pengetahuan metodologi penelitian yang memadai. Sayangnya sampai hari ini (sepengetahuan saya) tidak ada dana sepeserpun yang dikucurkan oleh negara untuk meningkatkan kapasitas komptensi peneliti kepada dosen di perguruan tinggi. Data yang didapatkan, di Indonesia ada 380.000 dosen, sedangkan yang pernah mengikuti Pendidikan Peneliti dan Sertifikasi Peneliti dengan uang pribadi mereka, baru sekitar 2.300 orang dosen di seluruh Indonesia atau sekitar 0,006%. Jumlah ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat tugas dosen yang bertumpu pada metodologi penelitian seperti yang dijelaskan di atas. Saat ini para dosen seakan sibuk dengan kajian-kajian mereka di prodi masing-masing, namun mereka lupa bahwa kajian-kajian itu dilakukan dengan metode penelitian. Artinya bahwa setiap dosen harus berdiri di dua kaki pengetahuan, yang satu di kaki pengetahuan kajian mereka dan yang satu lagi adalah di kaki pengetahuan metodologi penelitian. Pengembangan kajian selalu menggunakan metode penelitian. Akibatnya adalah dosen pada dasarnya rajin dan rutin mengajarkan teori-teori di kelas yang diadopsi dari orang lain, literatur asing. Mereka juga lupa mestinya materi pengajaran dosen di kelas juga berbasis riset yang diperoleh melalui riset-riset dosen, yang kemudian di kelas, hasil-hasil riset itu di diskusikan dengan mahasiswanya, sehingga terjadi dialog dan diskusi terhadap hasil-hasil penelitian, sekaligus mendorong memotivasi mahasiswa melakukan riset, karena mereka adalah calon-calon ilmuwan baru.

Anggaran Penelitian
Di banyak perguruan tinggi, pengelola enggan mengalokasi dana penelitian sendiri, sebaliknya perguruan tinggi mendorong para dosen untuk merebut dana penelitian dari pihak ketiga (seperti yang telah dijelaskan di atas). Ada banyak perguruan tinggi yang menentukan kebijakan bahwa para dosen senior diwajibkan berkompetisi untuk mendapat dana hibah dari pihak ketiga tersebut, sedangkan dosen-dosen junior diberi dana hibah seadanya untuk penelitian sehingga dapat membantu mereka meningkatkan kepangkatan mereka (justru hal ini dilakukan untuk kepentingan perguruan tinggi itu sendiri untuk meningkatkan akreditasinya, karena dosen yang memiliki kepangkatan yang tinggi dapat membantu akreditasi kelembagaan). Namun secara keilmuawan strategi ini tidak menguntungkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sebagaimana inti dari tujuan pendirian perguruan tinggi itu. Hal ini karena (1) penelitian yang mendapatkan dana dari pihak ketiga adalah sarat dengan kepentingan pihak ketiga, sehingga para dosen yang mendapat dana-dana riset tersebut, umumnya hanya menjadi tukang-tukang yang pandai mengisi template proposal, template laporan penelitian dan template laporan anggaran penelitian, Prof. Selo Soemanjan mengatakannya sebagai penelian pesanan. Secara keilmuwan tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang di buat dalam model skema-skema penelitian pihak ketiga, tidak akan tercapai secara maksimal, apalagi waktu pelaksanaan penelitian yang hanya 80% dari waktu yang disediakan pada tahun anggaran tersebut. (2) memungkinkan sekali bahwa dosen-dosen yang mendapatkan hibah penelitian tersebut tidak mampu menghasilkan sebuah kajian baru (sebagaimana yang diwajibkan oleh Denzin) bahwa setiap penelitian harus menghasilkan kajian baru. Hal ini karena (umumnya) orientasi para dosen adalah dana penelitian (agar dia bisa jalan-jalan, dana penelitian digunakan sebagai refresing, atau mendapat sedikit uang makan harian, karena hari ini dana penelitian sulit disalahgunakan, sebab pengawasan yang ketat). (3) Dosen-dosen senior yang diwajibkan berkompetisi dengan kontestan lain untuk memperebutkan dana dari pihak ketiga, justru kehilangan momentum mengembangkan minat-minta penelitian mereka untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tanpa harus dibatasi dengan template laporan ini itu. Karena itu seharusnya para dosen senior, professor diberikan dana mandiri agar mereka dapat mengembangan minat-minat mereka untuk meneliti di bidang mereka masing-masing dan menghasilkan kajian-kajian baru, teori-teori baru yang dapat dipublikasikan ke dunia ilmu pengetahuan. Kondisi seperti ini yang menurut saya telah menurunkan minat para guru besar melakukan penelitian mandiri, serta mendorong menurunkan integritas para dosen senior, terlebih profesor di perguruan tinggi terhadap pengetahuan, sehingga muncul kasus-kasus penitipan nama di jurnal-jurnal, buku, yang beberapa waktu yang lalu dipersoalkan. Berbeda dengan kampus-kampus di luar negeri yang umumnya memberikan dana mandiri yang cukup besar kepada profesornya untuk penelitian mandiri dan merekrut asisten profesor dari berbagai negara dalam bentuk dana pendidikan doktor dan asisten professor. (4) Menurut saya dosen-dosen muda perlu dilepas untuk berkompetisi merebut berbagai dana penelitian dari pihak ketiga untuk memperbanyak pengalaman dan jam terbang mereka dan regulasi untuk ini harus mendukungnya.

Apa yang perlu dilakukan saat ini
1) Kampus riset, yang sudah lama digaungkan, harus dapat perhatian utama oleh para stakeholder penyelenggara Pendidikan Tinggi di Indonesia, dengan menempatkan Tridharma Perguruan Tinggi sebagai berikut: a. Penelitian, b. Pendidikan dan Pengajaran, dan, c. Pengabdian Masyarakat.
2) Menjadikan Peran Lembaga Penelitian di kampus-kampus sebagai Lembaga super penting selain library. Bahwa selama ini masyarakat kampus di Indonesia, meremehkan dua lembaga ini adalah sebuah kekeliruan besar. Kampus di luar negeri justru berlomba-lomba membesarkan dua lembaga ini sebagai lembaga pusat sumber yang menjadi kebanggaan mereka kepada dunia.
3) Mulai mengarahkan pendanaan perguruan tinggi untuk mensupport penelitian-penelitian mandiri di kampus, sebagai kebanggaan kampus, bukan pada seberapa banyak jumlah dana scholarship penelitian diperoleh oleh Lembaga-lembaga penelitian dari pihak eksternal. Dengan demikian para dosen dapat mengembangkan kelmuan mereka berdasarkan pada pohon-pohon (skema) penelitian yang telah dibuat di prodi masing-masing. Perlu diingat, bahwa pihak ketiga mau mengeluarkan pendanaan penelitian, pasti dengan tujuan-tujuan mereka, bukan tujuan-tujuan dosen itu sendiri. Ingat pada istilah, tidak ada makan siang gratis. Setahu saya (mungkin saya salah) bahwa instrument akreditasi perguruan tinggi memberi nilai tinggi kepada besaran dana penelitian mandiri, bila dibandingkan dengan dana penelitian yang diperoleh dari pihak eksternal.
4) Kampus-kampus wajib memulai meningkat kapasitas dan kompetensi para dosen di bidang metodologi penelitian yang hari ini sudah berada pada era 6.0. Dosen-dosen jangan dibiarkan terus-menerus berada di era metodologi penelitian 2.0, karena dengan kondisi SOS metodologi penelitian di perguruan tinggi saat ini, maka mahasiswa kita akan dirugikan, dunia pengetahuan kita tidak berkembang dengan baik, karena tidak mendapat transformasi pengetahuan dan metodologi penelitian di kelas maupun di lapangan sebagaimana perkembangan metodologi penelitian mutakhir. Ingat bahwa dosen bukan peneliti Brin yang tugasnya melakukan penelitian dan membuat luaran penelitian. Namun lebih luas lagi, tugas dosen yaitu: a. mengajar metodologi penelitian, b. melakukan penelitian, c. membimbing mahasiswa melakukan penelitian, d. mempublikasi hasil-hasil penelitian, e. membimbing mahasiswa membuat laporan penelitian (skripsi/tesis/disertasi) dan mempublikasi hasil-hasil penelitian. Semu itu menjadi alasan kuat bahwa dosen wajib membutuhkan metodologi penelian mutakhir, bukan sekedar penelitian.
Kejayaan bangsa-bangsa di dunia tidak hanya dibesarkan dengan pedang dan tombak, namun dibesarkan pula dengan berbagai metodologi penelitian dan rekayasa pengetahuan yang dikembangkan dieranya. Berbagai negara Eropa dapat menguasi dunia di abad 7 – 18, bangsa mongol menguasi separuh dari dunia di zamannya, kejayaan Islam berjaya di eranya, bangsa Cina menguasai jalur sutra, kerajaan-kerajaan besar di nusantara seperi Sriwijaya, Majapahit dan Mataram menguasai Nusantara, semua karena metodologi penelitian dan pengetahuan yang mereka kuasai mengungguli bangsa-bangsa lain yang hidup diera yang sama.

Jadi marilah kita bernajak merenungi dan memikirkan tentang “bencana pengetahuan” yang akan kita hadapi di perguruan tinggi, bila kita ingin berjaya di Kawasan nanti. Saya yakin, sepuluh tahun ke depan, kampus-kampus yang akan menguasai bangsa ini adalah yang hari ini membekali pada dosennya dengan ilmu pengetahuan dan metodologi penelitian yang memadai.

Prof. Dr. Burhan Bungin, M.Si., Ph.D., CIQaR., CIQnR., CIMMR, Ketua Asosiasi Dosen Metodologi Penelitian Indonesia (IRMLA), Ketua Asosiasi Peneliti Kualitatif Indonesia (IQRA), Ketua Asosiasi Peneliti Bersertifikat Indonesia (CISSRA)