Parpolisasi PWI

banner 120x600
banner 468x60

KEMPALAN: Dewan Kehormatan memecat ketua umum. Tetapi ketua umum tidak terima, dan menyatakan keputusan dewan kehormatan ilegal dan mendesak segera membatalkan keputusan pemecatan. Kalau tidak, dewan kehormatan akan diperkarakan secara hukum. Dewan Kehormatan tidak mau menyerah. Tarik ulur antara dewan kehormatan vs ketua umum makin keras. Berikutnya, muncul gagasan untuk mengadakan KLB (kongres luar biasa) untuk memilih ketua baru.

Ini bukan konflik kepengurusan di partai politik (parpol). Ini konflik yang terjadi di kepengurusan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). organisasi kewartawanan tertua dan terbesar di Indonesia, berdiri 1946 dan punya anggota terbanyak di Indonesia.

banner 325x300

Hari-hari ini terjadi krisis organisasi antara Dewan Kehormatan versus ketua umum dan pengurus harian, karena munculnya tuduhan korupsi dalam pengelolaan dana bantuan pemerintah melalui kementerian BUMN.

Konflik saling pecat karena persoalan uang lazim kita dengar terjadi di lingkungan parpol, ormas, atau organisasi non-pemerintah lainnya. Tapi, kali ini konflik saling pecat itu terjadi di lingkungan PWI. Biasanya, para wartawan sangat antusias meliput konflik parpol, apalagi ada bumbu kasus korupsi. tetapi, kali ini para wartawan anggota PWI harus menjadi tontotan nasional karena munculnya konflik kepemimpinan akibat dugaan korupsi itu.

Dana yang terlibat tergolong besar, yaitu Rp 6 miliar, dan dari jumlah itu diduga ada penyelewengan Rp 2,8 miliar, atau setidaknya penggunaan dana itu mencurigakan. Dalam kasus ini ada tiga key words utama, yaitu PWI, Pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN, dan dana hibah miliaran rupiah. Sebagai oraganisasi kewartawanan, PWI seharusnya independen. Tetapi, kali ini–dan banyak kali yang lain—PWI mendapat bantuan resmi dari pemerintah dalam jumlah yang cukup besar.

Muncul pertanyaan, bagaimana PWI bisa independen vis a vis pemerintah kalau program-programnya dibiayai oleh duit pemerintah? Dana itu dipakai untuk membiayai program Uji Kompetensi Wartawan (UKW), yang menjadi program andalan PWI. Tujuannya adalah menjadikan anggota PWI sebagai wartawan yang profesional. Salah satu kriterianya adalah mampu menjalankan fungsi kontgrol sosial terhadap kekuasaan. Bagaimana bisa kritis terhadap kekuasaan kalau sumber anggaran berasal dari pemerintah?

Kalau memakai analogi sertifikasi halal MUI (Majelis Ulama Indonesia), maka program sertifikasi UKW ini sulit mendapatkan sertifikasi halal, karena dana yang dipakai masuk dalam kategori syubhat.

Perdebatan mengenai sumbangan dana pemerintah dan independensi wartawan dalam menjalankan fungsi kontrol sosial sudah lama khatam. Ibarat ‘’bahtsul masail’’ masalah itu tidak perlu dijadikan agenda lagi, karena sudah tidak menjadi masalah lagi. Para wartawan dan pimpinan PWI sudah menemukan berbagai argumen untuk menjustifikasi penerimaan dana dari pemerintah itu. Intinya, bagi PWI menerima dana pemerintah untuk membiayai berbagai program hukumnya halal.

Tentu ini debatable. Posisi PWI yang dekat dengan pemerintah sering dikritisi—atau membuat iri—organisasi kewartawanan lain seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen), yang lebih sering menempatkan diri sebagai opisisi terhadap pemerintah. Dari kacamata PWI sendiri muncul sinisme terhadap AJI yang dianggap sok kritis.

Konflik di PWI kali ini kelihatannya akan berlarut-larut, karena terjadi polarisasi yang tajam antara pro dan kontra. Satu kubu mendukung tindakan Dewan Kehormatan yang memberhentikan Ketua PWI Henry Chairudin Bangun dari keanggotaan PWI. Kubu lainnya mendukung Henry dan menganggap keputusan Ketua Dewan Kehormatan Sasongko Tedjo melanggar statuta organisasi.

Masing-masing pihak punya interpretasi sendiri terhadap statuta organisasi. Masing-masing pihak saling bersikeras bahwa interpretasinya yang benar. Namanya juga interpretasi pasti sifatnya subjektif. Jangankan cuma statuta organisasi, terhadap Alquran saja muncul banyak interpretasi yang tidak bisa disatukan selama belasan abad.

Kepengurusan Henry Bangun baru jalan setahun, tapi sudah digoyang oleh persoalan korupsi. Bagi wartawan, urusan uang sangatlah sensitif. Kode Etik Jurnalistik tegas menyebut penerimaan uang untuk menulis atau tidak menulis berita adalah haram. Tapi, dalam praktiknya banyak wartawan yang punya interpretasi longgar terhadap aturan etik itu. Sangat banyak yang longgar dan permisif dalam menghadapi persoalan uang. Media-media konvensional terkemuka seperti Kompas, Tempo, dan beberapa media lain mempunyai standar tinggi dalam masalah penerimaan uang. Tetapi, banyak organisasi media yang longgar terhadap aturan ini.

Sebagai alumni Kompas seharusnya Henry punya standar tinggi terhadap aturan penerimaan uang. Tetapi, di akhir karir kewartawanan aktif Henry di-BKO ke anak perusahaan Kompas, Warta Kota. Di lingkungan baru ini bisa jadi standar idealnya menjadi turun. Ketika kemudian Henry masuk dalam ekosistem PWI ia pun masuk dalam pengaruh ‘’group-think’’ yang membuatnya longgar dan permisif dalam pengelolaan keuangan.

Yang menjadi sorotan dalam pengelolaan dana hibah BUMN ini adalah adanya komisi yang harus dibayarkan kepada pengurus PWI yang dianggap berjasa mendapatkan hibah dari BUMN itu. Mungkin komisi itu dianggap sebagai uang terima kasih, atau dianggap sebagai komisi iklan yang lazim berlaku di berbagai perusahaan media.

Disinilah persoalannya. Dalam aturan organisasi media seorang wartawan tidak diperkenankan mencari iklan dan mendapatkan komisi dari iklan itu. Hal ini menjadi konsekuensi dari teori tembok api, ‘’firewall theory’’, yang memisahkan antara redaksi dan bisnis. Dua divisi yang sama-sama penting itu dipisahkan oleh tembok api yang tidak boleh diterobos.

Idealisme semacam ini sudah banyak ditinggalkan. Persaingan media yang sangat keras ‘’cut throat competition’’ persaingan gorok leher, menjadikan organisasi media bersikap pragmatis dengan mengizinkan wartawan mencari iklan dan mendapatkan komisi darinya. Praktik semacam ini menular di lingkungan PWI sebagai induk organisasi wartawan.

Gejala pragmatisme dan permisivme dalam persoalan uang terlihat jelas dalam Kongres PWI di Bandung 2023 yang memenangkan Henry Bangun. Persaingan antar calon ketua umum ketat, dan banyak uang berseliweran di arena kongres. Salah seorang calon jauh-jauh hari sebelum kongres berkeliling ke seluruh Indonesia menemui pimpinan PWI provinsi dan kabarnya menawarkan iming-iming finansial dengan berbagai modus.

Kongres PWI jadi mirip kongres parpol. Dan sekarang konflik PWI menjadi mirip konflik parpol. Tidak ada yang mau mengalah dan masing-masing merasa benar sendiri. Kalau nanti ada KLB sudah hampir pasti hasilnya ditolak oleh kubu lainnya. Polarisasi dan parpolisasi PWI sangat mungkin akan memecah organisasi.

Gejala parpolisasi PWI sudah terasa sejak kongres di Banda Aceh 2008. Ketika itu aroma money politics sudah mulai tercium karena beberapa delegasi diduga menerima sejumlah uang untuk memilih calon tertentu. Gejala ini makin menguat pada kongres berikutnya, dan puncaknya terjadi pada kongres Bandung 2023.

Konflik internal PWI saat ini hanya bisa selesai kalau gejala parpolisasi ini bisa diselesaikan. Kongres luar biasa tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, KLB akan membuat polarisasi makin tajam. Dua kubu tidak akan gampang menyerah. Sangat mungkin akan muncul PWI Reformasi, atau lahir PWI-Perjuangan.

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *