Oleh: Rizky Bangun Wibisono (Peneliti Nusantara Center for Social Research)
KEMPALAN – Baru-baru ini, kebijakan cleansing guru honorer di DKI Jakarta telah menimbulkan polemik dan kebingungan di kalangan masyarakat, terutama di sektor pendidikan. Kebijakan ini diambil berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2023 yang mengungkap adanya pemotongan gaji guru honorer secara ilegal. Anehnya, meskipun korban dari pemotongan gaji ini adalah guru honorer, mereka justru menjadi target dari kebijakan cleansing tersebut. Ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar: apakah kebijakan ini benar-benar relevan dan efektif?
Penjelasan terjadinya pemutusan hubungan kerja antara kepala sekolah dan guru honorer saat ini didasarkan pada hasil Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (TLHP) BPK nomor 4/LHP/XVII JKT/1/2024 Tahun 2024 dan amanat UU Nomor 20 Tahun 2023 Tentang ASN. Berdasarkan laporan tersebut, Dinas Pendidikan DKI Jakarta menyebutkan bahwa sekitar 4.000 guru honorer di Jakarta bakal terkena kebijakan cleansing. Namun, penggunaan istilah “cleansing” oleh pemerintah sangat sensitif dan tidak ramah.
Pemerintah sering kali menggunakan istilah-istilah yang tidak sesuai dengan konteks sebenarnya, seperti mengganti kata “macet” menjadi “padat” atau “banjir” menjadi “genangan”. Dalam kasus ini, penggunaan kata “cleansing” sangat tidak tepat karena istilah ini lebih dikenal dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia berat. Menurut LBH Jakarta, tidak ada teori pengelolaan sumber daya manusia yang menggunakan istilah cleansing. Ini adalah pemutusan hubungan kerja (PHK), dan pemerintah memilih istilah yang paling jahat untuk menggambarkan situasi ini. Hal ini menambah keraguan terhadap kebijakan yang diambil dan menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak peduli dengan kesejahteraan para guru honorer yang terkena dampak.
Namun, setelah polemik ini, banyak guru di Jakarta yang harus bekerja double atau triple job untuk mengajar murid-murid mereka. Ironisnya, guru-guru yang terkena “cleansing” tadi masih merespon pertanyaan-pertanyaan murid mereka, menunjukkan dedikasi yang luar biasa meskipun dalam kondisi yang sulit. Selama penghargaan kesejahteraan guru tidak menjadi prioritas dalam pengelolaan pendidikan, selamanya pendidikan Indonesia akan stagnan. Guru yang seharusnya fokus mendidik malah harus memikirkan cara untuk bertahan hidup.
Secara prinsip, guru adalah guru. Sejak awal, istilah guru honorer atau sebutan apapun yang serupa seharusnya tidak dinormalisasi. Di beberapa tempat, menjadi guru honorer bahkan dianggap sebagai sebuah jenjang karir. Namun, ini tidak seharusnya terjadi. Semua guru, terlepas dari status mereka, memainkan peran penting dalam mencerdaskan anak bangsa dan seharusnya mendapatkan perlakuan serta penghargaan yang setara.
Kebijakan ini perlu ditinjau ulang dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan strategis. Pemerintah harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan ini terhadap kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru honorer. Selain itu, transparansi dan komunikasi yang jelas dengan masyarakat sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan menciptakan solusi yang efektif dan adil.
Setelah pernyataan pihak perwakilan Gubernur DKI Jakarta, beberapa guru honorer telah dipanggil kembali oleh kepala sekolah mereka untuk mengajar, meskipun belum semuanya. Ini menunjukkan bahwa tuntutan pertama agar mereka kembali ke sekolah mulai dikabulkan, namun masalah ini belum sepenuhnya terselesaikan. Dengan belajar dari kesalahan ini, diharapkan kebijakan pendidikan di masa depan dapat lebih responsif dan bertanggung jawab, sehingga tidak lagi menimbulkan polemik yang merugikan banyak pihak. Pemerintah harus selalu ingat bahwa guru adalah pilar penting dalam menciptakan generasi yang cerdas dan berkualitas, sehingga setiap kebijakan yang diambil harus berpihak pada kesejahteraan dan profesionalisme mereka. Tanpa menghargai dan mendukung guru dengan layak, upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia akan terus terhambat. (*)
Tinggalkan Balasan