KEMPALAN: Saya mengenal nama Henri Nurcahyo pada pertengahan 1980-an melalui koran Memo yang memuat ‘depth reporting’ karyanya, antara lain mengungkap kapitalisme yang bersinggungan dengan buku karya Tan Malaka berjudul “Madilog”.
Waktu itu Henri tergolong wartawan baru di koran yang dipimpin oleh jurnalis hebat Agil H. Ali.
Saya menilai Henri berbeda dengan kebanyakan wartawan lain. Isi berita yang ditulisnya terbilang “nakal”. Di samping itu, jika kebanyakan wartawan lain menulis ‘straight news’, Henri condong menelurkan laporan-laporan panjang dengan tema-tema eksklusif.
Karena terkesan yang ditulis sosok ini, kepada rekan sekantor di Harian Pos Kota Perwakilan Jawa Timur yaitu Errol Jonathans, saya mencoba menggali lebih banyak.
“Hebat anak ini. Masih muda, belum 25 tahun. Tulisan-tulisannya dalam dengan banyak referensi,” ujar Errol seputar 40 tahun lalu yang lantas menambahkan, ”Kabarnya pernah kuliah di UGM”.
Sesudah itu nama Henri semakin sering saya dengar.
Dan kesan saya tentang dia bertambah, bahwa Henri lebih ber-‘style’ aktivis, lincah, dan konon punya akses luas di kalangan LSM.
Berbeda dengan saya yang pernah ngepos di berbagai instansi; seperti di eksekutif, legislatif atau beberapa instansi lain, Henri tampaknya tidak. Dia sebagai wartawan lebih banyak ‘floating’. Oleh sebab itu dengan Henri saya jarang bertemu di lapangan.
Suatu kali — lebih kurang 35 tahun lalu — bertemu pada KLW (Karya Latihan Wartawan) tentang statistik yang dihelat PWI Jawa Timur yang antara lain diisi oleh Wakil Kepala BPS Soetjipto Wirosardjono dan dosen ITS Kresnayana Yahya. Di situ Henri menunjukkan kualitasnya sebagai wartawan muda yang banyak bersentuhan dengan perpustakaan: kritis dan tajam.
Menjelang penutupan KLW, panitia mengumumkan kepada peserta agar menuliskan hasil mengikuti KLW ini dalam bentuk artikel untuk dikompetisikan. Bagi tiga terbaik akan diberi hadiah uang. Hasilnya Henri meraih Juara I, Juara II saya raih, dan Baharmi dari koran Surabaya Minggu meraih Juara III.
Sejak saat itu saya dan Henri “bersaing”, bergantian saling mengungguli meraih juara jika ada lomba karya jurnalistik yang kami ikuti.
Seingat saya – setidaknya untuk sekitar 15 tahun lalu – Henri telah meraih 10 kejuaraan lomba junalistik dan karya tulis. Mungkin sekarang lebih dari itu.
Entah kapan persisnya, Henri lantas pindah ke Surabaya Post. Di harian yang saat itu terbanyak tirasnya di Jawa Timur, Henri tampaknya lebih banyak menulis laporan seni-budaya, terutama seni rupa. Pergaulannya dengan pelukis di Jawa Timur sangat luas, juga dengan beberapa pelukis di Jakarta, Bandung. Jogja dan Solo serta kota-kota lainnya.
Seingat saya, Henri juga pernah bergabung dengan majalah Jakarta-Jakarta sebagai koresponden di Surabaya.
Akhir tahun 1980-an saya semakin akrab dengannya, antara lain saya sering bertamu di rumah kontrakannya di kawasan Petemon Barat, Surabaya. Yang mengagumkan, koleksi buku-bukunya begitu banyak dan beragam. Tidak saja seputar dunia seni budaya.
Kontrakannya lebih banyak dipenuhi buku katimbang perabotan rumah tangga. Saking tidak muatnya, ada yang diletakkan di rak atas bagian luar, yang lantas buku-buku itu hampir nyundul langit-langit.
Di rumah Henri tersebut, kami sering berdiskusi apa saja.
Tahun 1990 saya mulai merambah dunia lukisan, tetapi bukan sebagai penulis seni rupa, namun sebagai ‘organizer’ pameran hingga tahun 2005. Meski begitu saya masih menggeluti jurnalistik, bergabung dengan beberapa koran mingguan.
Dalam kaitan itu, tahun 2000 saya dan Henri pernah berpolemik panjang di harian Jawa Pos. Sebagai penulis Henri mengkritisi pameran lukisan nasional yang dihelat Semen Gresik dimana saya duduk sebagai ketua pelaksana. Ada lima tulisan polemik, yakni dua tulisan Henri dan dua tulisan saya, yang lantas ditengahi oleh satu tulisan Wiek Herwiyatmo yang waktu itu Mas Wiek menjabat Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS).
Hari-hari selanjutnya kami tetap bersahabat. Dan terus bersahabat, meski kemudian muncul lagi polemik saya dengan Henri Nurcahyo di Jawa Pos pada tahun 2006. Kali ini tentang penyelenggaraan Festival Seni Surabaya (FSS). Ada tiga tulisan pada polemik itu: satu tulisan saya, satu tulisan Henri Nurcahyo, dan satu lagi tulisan penengah dari Bonari Nabonenar. Kali ini saya yang mengkritisi FSS, dan Henri mencoba membelanya.
Kami pernah juga duduk dalam beberapa kepanitiaan, antara lain pada FSS. Juga Festival Budaya Jawa Timur sekitar 15 tahun lalu yang didanai Kanwil Depdikbud Jawa Timur, dimana Henri sebagai ketua dan saya bendahara.
Jika tadi saya menyebut sebagai jurnalis Henri ber-‘style’ aktivis, ternyata memang dibuktikan dengan kepeduliannya pada hal-hal yang bersangkut-paut perjuangan melawan ketidakadilan. Dan Henri termasuk berjuang bersama seniman dan mahasiswa yang berlangsung berhari-hari pada sekitar Mei 1998 di pelataran Balai Pemuda dengan orasi dan pentas seni.
Bicara tentang Henri Nurcahyo identik dengan militansi yang terus bergulir pada dirinya yang terus-menerus mencuatkan tindakan nyata, dan diharapkan banyak orang bisa memberi pencerahan pada lingkungan sekitar.
Tulisan-tulisannya deras mengalir pada media cetak maupun on line, juga karya-karya literasi lain dalam bentuk buku. Henri terbilang penulis buku produktif. Sudah lebih dari 40 judul buku yang ditulisnya. Belum lagi buku-buku yang dikerjakan secara keroyokan yang jumlahnya sekitar 15 judul.
Sejak 10 tahun terakhir Henri berada pada kesibukan luar biasa, upayanya untuk menaikkan pamor Budaya Panji ke titik viral bersama sejumlah instansi dan sosok lain tampaknya membuahkan hasil. Kisah-kisah Panji yang antara lain bersumber dari Kerajaan Kadiri diakui oleh UNESCO.
Dan militansi Henri memang tidak main-main. Sejak tahun 2008 Henri telah banyak menulis artikel tentang hal itu yang dipublikasikan di koran, majalah, dan jurnal.
Bukunya-bukunya tentang Budaya Panji terus lahir dari hasil penelitiannya, yaitu “Konservasi Budaya Panji” (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009), “Rekayasa Dongeng dalam Semburan Lumpur Lapindo” (Asosiasi Tradisi Lisan, 2009), “Memahami Budaya Panji” (Pusat Konservasi Budaya Panji, 2016), “Revitalisasi Sastra Berbasis Budaya Panji” (Disbudpar, 2016), dan “Festival Panji Nasional” (Dispbudpar, 2017). Dan mungkin masih ada lagi yang saya tidak tahu.
Oleh sebab itu tidak heran Henri sering diundang pada banyak seminar dan berbagai festival tentang Budaya Panji, duduk berdampingan sebagai pembicara bersama para peneliti dan sejarahwan yang terdiri dari profesor dan doktor. Sementara Henri sendiri “cuma” jebolan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada. ()
Amang Mawardi, jurnalis senior dan penulis, tinggal di Surabaya.
Tinggalkan Balasan