KEMPALAN: Banyak warga Indonesia yang lahir pada tahun 1940-1960-an mengenal nama Kusni Kasdut sosok kontroversial yang lahir di Blitar pada 1929.

Kusni Kasdut, sebagaimana sejumlah biodatanya di google, saya coba simpulkan sebagai sosok yang sarat paradoks.

Paradoks yang terkenal adalah : selain sebagai pejuang, juga seorang perampok.

Contoh yang menyebabkan paradoks lainnya, siapa sosok ayah sebenarnya? (Teman-teman bisa cari informasinya di google).

Yang hendak saya sampaikan sebagai ‘background’ dari tulisan ini adalah kenapa dari seorang pejuang menjadikan Kusni Kasdut perampok?

Setelah mengetahui siapa sesungguhnya ayahnya, Kusni Kasdut akhirnya menyusul ibunya hijrah ke Malang yang berjualan nasi pecel dekat terminal bus.

Di situ lantas Kusni kecil berjualan rokok, permen, dan lain-lain, dengan menjajakan di seputar terminal serta naik turun bus sebelum angkutan umum tersebut berangkat.

Saat pecah perang kemerdekaan, pemuda Kusni ikut terlibat dengan membantu para pejuang, antara lain dengan merampok orang-orang Tionghoa kaya untuk kemudian hasil merampok dibelikan senjata dan keperluan perjuangan lainnya.

Dalam salah satu ‘clash’ dengan pasukan Belanda, Kusni Kasdut tertangkap. Namun, akhirnya berhasil lolos dengan kondisi salah satu kakinya tertembak.

Setelah perang usai, para pejuang yang ingin masuk militer diseleksi, Kusni tak lolos. Disamping cacat kaki akibat tembakan Belanda, dia tak bisa membuktikan dulu tergabung dalam laskar rakyat apa.

Kecewa tak bisa masuk militer yang dulu dia merasa ikut mengabdi, disamping sulitnya mencari pekerjaan –ditambah naluri keahlian pegang senjata– jadilah dia bergabung dengan komplotan perampok yang akhirnya memutuskan beroperasi secara mandiri. Atau menghimpun beberapa orang dengan Kusni alias Waluyo ini sebagai pemimpinnya.

Begitu setidaknya sekian biodata di Google yang lantas saya coba narasikan.

Kusni Kasdut pernah terlibat dengan komplotan Bir Ali yang menewaskan saudagar kaya Ali Badjened di Kebon Sirih Jakarta.

Juga merampok berlian di Museum Gajah Jakarta dengan menyamar sebagai polisi, merampok dokter di Surabaya, dan beberapa kejahatan lainnya yang dilakukan dengan kekerasan.

Yang paling fatal, Kusni Kasdut menembak mati seorang polisi di Semarang saat berusaha meloloskan diri dari tahanan.

Akhirnya Kusni Kasdut divonis mati pada tahun 1969.

Selama Kusni “berkarier” dalam dunia kriminalitas paling keras ini (bandingkan dengan mencuri, mencopet, menipu), Kusni Kasdut telah 8 kali ditangkap dan 8 kali pula melarikan diri.

Pada 10 September 1979, kembali Kusni Kasdut melarikan diri (kali ini dari LP Lowokwaru, Malang) dan berhasil ditangkap lagi pada 17 Oktober 1979 di Surabaya.

Akhirnya pada 16 Februari 1980, di kesenyapan dini hari, Kusni Kasdut dieksekusi dekat pertambakan di kawasan Gresik, dengan sebelumnya tersiar kabar sosok ini akan dihadapkan ke regu tembak di seputar Pantai Kenjeran, Surabaya.


Pada suatu malam, di seputar tahun 1981, Hardjono (semoga dimuliakan Sang Khaliq) koresponden Pos Kota yang ngepos di Polwiltabes Surabaya dan Polda Jatim, pulang dari Grahadi Gubernuran Jalan Pemuda nomor 7 Surabaya.

Dalam perjalanan pulang dari gedung negara tersebut, di bagian ceruk Vespa PX-nya, terletak trofi setinggi hampir semeter.

Jarak Grahadi dengan rumahnya di Perumnas Tandes lumayan jauh, sekitar 15 kilometer.

Di tengah perjalanan, motor Vespa-nya dibelokkan ke sebuah SPBU.

Saat mengisi bensin, petugas di situ tanya, “Trofi apa ini, Mas?” Maksudnya trofi juara apa.

Dijawab oleh Hardjono yang ganteng dan suka bercanda ini: “Trofi Juara Voli… “

Ya, itu memang bukan trofi juara voli, tapi trofi Juara Utama Lomba Foto Jurnalistik yang diselenggarakan PWI Jawa Timur tahun 1981.

Acara penyerahan sejumlah penghargaan karya jurnalistik kala itu, dihadiri Gubernur Jawa Timur dan undangan lainnya.

“Bingung aku, mau tak jawab sebenarnya ini trofi lomba foto jurnalistik, engkuk arek-e takon meneh. Nguber … (nanti petugas tadi nanya lagi. Ngejar dengan pertanyaan) … ” kata Hardjono keesokan hari di kantor perwakilan Pos Kota.


Sebelum dipindahkan ke penjara Kalisosok, Kusni Kasdut dijebloskan di tahanan Polwiltabes Surabaya.

Saat itu Kapolri Jenderal Awaludin Djamin bersama Kapolwiltabes Kolonel Harsono Prijatno, menemui Kusni Kasdut di tahanan. Dan berhasil dipotret Hardjono dengan posisi Kusni Kasdut berdiri di balik jeruji dengan tersenyum.

Sementara, Pak Kapolri berdiri berseberangan berposisi di sisi kiri dengan wajah beliau terlihat sisi kanannya, juga tersenyum. Sedangkan sosok Kolonel Harsono Prijatno membelakangi lensa. ‘Candid’! Hardjono pun meraih Juara Utama Lomba Foto Jurnalistik tahun 1981 yang diselenggarakan PWI Jawa Timur.

Amang Mawardi jurnalis senior dan penulis, tinggal di Surabaya.