JAKARTA – Apa yang dilakukan oleh Anggota DPD RI Yorrys Raweyai dan Hasan Basri dengan melakukan konferensi pers terkait kericuhan pada Sidang Paripurna DPD RI pada Jumat lalu (12/7/2024), dinilai merupakan tindakan kekanak-kanakan oleh Bustami Zainudin, Anggota DPD RI dapil Lampung.

Menurut Bustami, adu argumentasi, perdebatan dan segala dinamika yang terjadi di dalam Sidang Paripurna DPD RI, terkait Tata Tertib adalah persoalan internal Lembaga. Yang diperlukan masyarakat itu apa yang sudah atau berhasil diperjuangkan DPD RI di masa jabatan 2019-2024. Pimpinan telah memperjuangkan apa saja. Termasuk Komite-Komite apa capaiannya. Itu yang lebih penting bagi masyarakat.

“Buktinya di periode saat ini tingkat kepercayaan publik ke DPD RI lebih baik. Baik itu survey CSIS, Litbang Kompas, maupun lembaga-lembaga lain. Tapi dengan kericuhan yang dipicu kelompok kemarin, mungkin kepercayaan publik ke DPD RI akan menurun. Jika itu terjadi, masyarakat juga akan tahu, siapa-siapa aktor yang harus bertanggugjawab, sebagai biang kericuhan dan keributan internal,” ungkap Bustami, yang juga anggota Badan Kehormatan DPD RI, Rabu, (17/7).

Terkait Tatib yang akan disahkan di Sidang Paripurna kemarin, Bustami mengaku tahu betul proses perjalanannya. Karena dia juga anggota Pansus Tatib, sekaligus juga anggota Timja Tatib. Sehingga dia memperkirakan ada kepentingan di balik kericuhan yang dibuat Yorrys dan beberapa anggota DPD RI. Hal itu semakin jelas dengan adanya pernyataan-pernyataan hujatan dan fitnahan yang muncul belakangan.

“Saya tahu betul Tatib ini dengan segala dinamika prosesnya. Saya anggota Pansus, anggota Timja, saya juga anggota BK DPD RI. Semuanya bersentuhan langsung dan memiliki kewenangan membahas Tatib. Jadi saya juga paham, siapa-siapa yang ingin memaksakan kehendak dan apa kepentingannya. Makanya, tidak perlulah membuat drama-drama kepada publik, masyarakat lebih mengerti, apalagi jika membaca track record ke belakang,” tegasnya.

Ditambahkan Bustami, terkait aturan yang membatasi calon pimpinan yang pernah terkena sanksi etik dari BK, itu kan bagus bagi good governance lembaga. Kalau itu dipersoalkan, ya kita serahkan ke kehendak mayoritas anggota saja. Mau pilih menjaga marwah Lembaga atau tidak. Soal syarat dukungan kepada calon pimpinan dari anggota, sangat wajar dalam pemilihan organisasi manapun. Apakah itu ormas, organisasi profesi, atau partai politik sekalipun.

“Kalau tentang apa yang diperjuangkan Ketua selama ini, tidak ada yang salah karena semua itu permintaan yang masuk melalui aspirasi yang diterima. Termasuk gagasan untuk melakukan Kaji Ulang Konstitusi. Itu aspirasi langsung dari puluhan elemen dan organisasi. Termasuk dari kerajaan dan kesultanan di Nusantara. Bahkan langsung dari Wakil Presiden ke VI Pak Try Soetrisno. Dimana salahnya memperjuangkan aspirasi. Toh konstitusi yang lebih baik, tujuannya untuk keadilan sosial, yang nanti dirasakan oleh seluruh daerah,” urai Bustami.

Jadi, lanjut Bustami, sebaiknya jangan kekanak-kanakan. Lalu mencari simpati publik dengan menuduh pimpinan otoriter dan lain-lain. Yang ujungnya untuk kepentingan kontestasi perebutan pimpinan. Padahal masyarakat akhirnya sudah tahu juga bahwa keputusan pembentukan Timja untuk penyempurnaan hasil kerja Pansus Tatib itu keputusan Sidang Paripurna sebelumnya, pada 5 April yang lalu.

“Sudah jadi keputusan Paripurna kok mau dibatalkan lagi. Apalagi menolaknya belakangan, sudah diputus April, ditolak Juli. Menolak keputusan yang sudah dicatat sebagai keputusan lembaga itu tidak dibenarkan. Siapapun akan berpendapat universal seperti itu. Seharusnya dijalani saja. Kalau memang belum layak jadi Pimpinan, ya tahu dirilah. Kan masih bisa memimpin di alat kelengkapan lainnya, seperti selama ini,” tandas Bustami.(*)